TOPIK 5. MIKROSKILLS TAHAPAN KONSELING DAN PSIKOTERAPI
Hallo teman-teman kali ini saya akan membahas topik terakhir dalam mata kuiah konseling dan psikterapi di akhir semester 3 ini, yaitu mikroskills tahapan konseling dan psikoterapi, jangan lupa di simak yaa....
Mikroskills tahapan-tahapan konseling
dan psikoterapi ada beberapa tahapan yang biasa disebut atau disingkat dengan
DASIE. Apa singkatan dari DASIE?
1.
Development : mengembangkan relasi, mengidentifikasi dan
mengklarifikasi masalah
2. Assessment : menilai dan menyatakan kembali masalah klien dalam istilah keterampilan
3.
State :
menyatakan tujuan dan merencanakan tindakan
4.
Intervention : tindakan untuk mengembangkan keterampilan hidup
5.
End : mengakhiri dan menekankan
keterampilan self-helping kepada klien
Disini kita akan membahas satu persatu
apa sih isi keterampila-keterampilan dari DASIE??
1.
DEVELOPMENT
Dalam
proses konseling dan psikoterapi ada 10 keterampilan dari development yaitu:
a.
Konselor
menjamin kenyamaan pada klien saat melaksanakan konseling
b.
Konselor tidak
boleh menyamakan konselor dengan konseli
c.
Bagaimana
caranya agar proses konseling bias menghargai klien seutuhnya
d.
Konselor harus
bias membedakan pesan non verbal menunjukkan bahwa aku buat kamu seutuhnya
e.
Konselor harus
bias menunjukkan bahwa konselor mempunyai energy positif untuk klien
f.
Konselor harus
mempunyai banyak pilihan kata-kata (kosa kata) jika terjadi pengulangan pada
saat konseling berlangsung tidak memberikan efek warna baru dalam proses
konseling. Karena sesuatu yang berbeda bias membuat klien untuk berfikir
g.
Konselor harus
tau makna tersirat dan tersurat yang dikirim oleh konseli. Konselor harus tahu
mana data yang valid yang dinyatakan ataupun yang di tunjukkan
h.
Konselor harus
bias mereflesikan perasaan-perasaan konseli untuk proses konseling
i.
Konselor tidak
boleh melarang atau menghindari klien artinya konselor tidak boleh menjadi
penasehat
j.
Konselor tidak
boleh negative thingking (berfikiran negative) pada klien saat klien dating
untuk melakukan proses konseling
2.
ASSESMENT
Biasanya, asesmen dalam
konseling dapat dilakukan dengan laporan diri, performance test, tes
psikologis, observasi,wawancara dan lainnya. Asesmen harus dilakukan secara
hati-hati, sebab kesalahan dalam menemukan masalah akan mengakibatkan treatment
gagal bahkan merugikan bagi klien itu sendiri. Tujuan asesmen dalam psikologi
konseling menurut Hood dan Johnson (1993) adalah sebagai berikut :
· Orientasi masalah yakni mengenali dan
menerima masalah yang sedang dihadapi
· Identifikasi masalah yakni membantu konselee
ataupun konselor mengetahui permasalahan secara detail
·
Memilih berbagai alternaif solusi dan
penyelesaian masalah yang dilakukan oleh konselee
· Membuat keputusan alternatif pemecahan
masalah yang paling baik dari beberapa alternatif yang tersedia
·
Menilai apakah konseling telah berjalan
efektif mengurangi beban masalah konselee
·
Melihat dan mengembangkan cara konselee dalam
menjawab pertanyaan yang diberikan konselor
·
Melatih konselee dalam memecahkan masalah
·
Membentuk konselee menjadi lebih mandiri
·
Melatih konselee selalu bercerita tenatng apa
yang dipikirkan dan dirasakan
·
Mengajak konselee untuk selalu terbuka dengan
berbagai hal
·
Bekerja sama dalam memecahkan masalah yang
dihadapi
·
Membiasakan konselee untuk melaksanakannya
secara konsekuen
A.
Kedudukan Asesmen Psikologi dalam Konseling
Asesmen psikologi memiliki kedudukan yang
strategis dalam konseling. Ia adalah dasar dari perencanaan program konseling
sesuai dengan konsep diri dalam psikologis dan
kebutuhan konselee sebab hal ini akan mendorong tercapainya tujuan pelayanan
psikologi konseling. Gambaran permasalahan yang diperoleh dari asesmen bisa dijadikan
acuan untuk menyusun program layanan konseling.
Bentuk asesmen psikologi dalam konseling
dibedakan menjadi asesmen teknik nontes dan asesmen teknik tes. Yang paling
sering digunakan oleh konselor adalah asesmen teknik nontes sebab perancangan,
pengadministrasian, pengolahan, analisis dan penafsirannya tidak rumit seperti
asesmen teknik tes.
Bentuk-bentuk asesmen teknik nontes adalah
Daftar Cek Masalah (DCM), Alat Ungkap Masalah (AUM), Alat Ungkap Masalah
Belajar (AUM PTSDL), Sosiomentri, Wawancara, Observasi Dan Inventori Tugas
Perkembangan (ITP).
Sedangkan asesmen teknik tes dilakukan
konselor yang telah memiliki sertifikat asesmen teknik tes. Konselor yang belum
atau tidak memiliki sertifikat dapat bekerja sama dengan lembaga psikologi
konseling yang telah memiliki kewenangan tersebut. Bentuk asesmen teknik tes
adalah tes bakat, tes minat, tes kperibadian, tes kemampuan kerja , tes
kematangan sosial dan lainnya.
B.
Metode-Metode Asesmen Psikologi dalam
Konseling
Asesmen
psikologi dalam konseling dilakukan dengan beberapa metode, yaitu :
·
Wawancara
Wawancara adalah salah satu metode asesmen
untuk mendapatkan data klien denagn cara berhubungan langsung atau face to face
relation. Komunikas ini berlansung dengan melakukan tanya jawab secara tatap
muka. Dengan teknik wawancara, konselor dapat melihat gerak dan mimik yang
dijadikan sebagai media untuk melengkapi ucapan mereka. Tidak hanya menangkap
ide, wawancara juga digunakan untuk menangkap perasaan, pengalaman, emosi dan
motif yang diperlihatkan oleh klien.
·
Angket
Selain wawancara, angket juga termasuk metode
asesmen psikologi. Angket adalah serangkaian pertanyaan atau pernyataan
tertulis yang diberikan kepada responden untuk mendapatkan jawaban tertulis
pula. Pertanyaan di dalam angket akan mengikuti maksud dan tujuan angket
tersebut diberikan,
·
Observasi
Obervasi merupala pengumpulan data dengan
melakukan penagamatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan
melakukan observasi, kita akan memperoleh tingkah lau yang tampak, arah
pembicaraan serta apa yang ia lakukan. Terencana atau tidak, observasi tetap
dapat dilakukan.
·
Sosiometri
Sosiometri berasal dari bahasa latin socius
(soscial) dan metrum (pengukuran) yang kemudian dikembangkan oleh psikiater
Jacob Levi Moreno. Sosiometri adalah metode pengukuran kelompok sosial yang
mempelajari hubungan sosial antar individu atau antar kelompok.
C.
Ruang Lingkup Asesmen Psikologi dalam
Konseling
Menurut Hood dan Johnson (1993) menyebutkan
abahwa ruang lingkup asesmen psikologi dalam konseling terdiri dari :
·
Systems asessment
Adalah sistem yang berguna untuk mendapatkan
informasi akan status dari suatu sistem. Dalam sistem ini, konselor akan
membedakan antara apa ini dengan apa diinginkan berdasarkan kebutuhan dan hasil
konseling serta apda tujuan yang ditetapkan dan diharapkan selama proses
konseling.
·
Planning
Adalah metode perencanaan program dalam
mendapatkan informasi pembuatan keputusan dan pemilihan program-program efektif
saat melakukan pertemuan antara konselor dan konselee serta mengidentifikasi
kebutuhan penting pada tahap pertama.
Dalam metode ini, muncul fungsi evaluator
dalam asesemn yakni memberikan informasi penting. Dengan informasi tersebutl
maka asesmen akan lebih efektif sehingga membuat klien dapat membedakan latihan
dan bagaimana penerapan klien ketika membuat keputusan untuk menyelesaikan
masalahnya di kehidupan nyata
·
Implementation
Penilaian pelaksaan progranm-program asesmen
yang dilakukan dengan cara memberikan informasi-informasi nyata sehingga kita
bisa melihat apakah program tersebut sudah sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan.
·
Improvement
Adalah sebuah metode asesmen dalam
memperbaiki program yang berkenaan dengan evaluasi pada informasi nyata dan
valid, tujuan yang akan dicapai, jenis program yang berhasil dan informasi
pelakasaan program-program yang lainnya.
·
Certification
Adalah akhir kegiatan dari asesmen dalam
psikologi konseling. Menurut Center for the Study of Evaluation (CSE),
sertifikasi adalah evaluasi sumatif yang memberikan makna bahwa kegiatan yang
dilakukan sudah berada pada tahap akhir. Sebelum memberikan sebuah sertifikat
kepada klien, maka akan dievaluasi terlebih dahulu.
Evaluator akan memberikan informasi mengenai
hasil evaluasi yang telah diberikan untuk dijadikan acuan dalam pengambilan
sebuah keputusan.
D.
Langkah – langkah Pelaksanaan Asesmen
Apapun bentuk dan jenis asesmen, suatu
perencanaan tetap harus dilakukan untuk memperoleh instrumen yang benar-benar
valid dan dipercaya dalam mengukur dan menghasilkan sebuah keputusan.
Langkah-langkah dalam pelaksaan asesmen adalah :
Ø Perencaan
Adalah hal yang paling mendasar dari sebuah
pelaksaan asesmen. Hal-hal yang harus dialkukan selama kegiatan perencanaan
adalah :
·
Memilih fokus asesmen pada hal tertentu yang
terdapat pada diri klien
·
Memilih instrumen yang tepa untuk digunakan
·
Menetapkan waktu kapan asesmen akan dilakukan
·
Pengujian validitas dan reliabilitas pada
instrumen yang digunakan
Ø Pelaksanaan
Dalam melaksanakan asesmen harus disesuaikan
dengan manual masing-masing instrumen. Dalam sistem manual suatu instrumen
biasanya akan memuat beberapa aspek berikut, seperti :
·
Cara pelaksanaan
·
Waktu melakukan asesmen
·
Kunci jawaban
·
Cara menganalisa
·
Interpretasi
Ø Analisis
data
Ada dua jenis analisis data yakni analisis
data kualitatif dan analisis data kuantitatif. Langkah yang harus diamnil
ketika melakukan analisis data kualitatif adalah :
·
Menjamin bahwa semua data telah tersedia
·
Membuat salinan data jika data tiba-tiba
hilang
·
Mengatur data dalam judul dan memasukkannya
dalam file
·
Menggunakan sistem kartu dalam map
·
Memeriksa kebenaran hasil pelaksanaan asesmen
Sedangkan jika data tersebut bersifat
kuantitatif, maka analisis data dapat dilakuakn dengan menggunakan statistik
yang sekarang dapat dilkakukan dengan bantuan komputer seperti program excel,
LISREL, SPSS dan lain sebagainya.
Ø Interpretasi
data
Interpretasi data dilakukan untuk mengatur
dan menilai fakta, menafsirkan pandangan dan merumuskan ringkasan yang
mendukung secara hati-hati, jujur dan terbuka. Hal-hal yang harus ada dalam
proses interpretasi adalah :
·
Komponen untuk menginterpretasi hasil
analisis data
·
Interpretasi yang menilai objek serta dampak
asesmen tersebut
Ø Tindak
lanjut
Adalah menindak lanjut hasil asesmen psikologi
dalam konseling. Misalnya, apakah konselee perlu melakukan konseling dari aspek
yang berbeda, apakah klien perlu mendapatkan treatment tertentu atau konselee
perlu mendapatkan rujukan berikutnya. Rujukan diberikan apabila konselor tidak
memiliki kewenangan untuk menghadapi masalah klien.
E.
Kode Etik Penggunaan Asesmen Psikologi dalam
Konseling
Kegiatan asesmen psikologi dalam konseling harus mengikuti aturan dan ketentuan penerapan kode etik asesmen psikologi dalam konseling. Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) adalah menggunakan kode etik testing yakni jenis tes yang diberikan oleh petugas konseling yang memiliki wewenang untuk menafsirkan hasil pelaksanaan asesmen. Berikut adalah kode etik asesmen psikologi dalam konseling :
- Testing digunakan untuk memperoleh data yang lebih lengkap tentang sifat atau kepribadian klien dalam proses pelayanan
· Konselor harus memberikan konsep yang tepat
kepada konselee maupun orang tua mengenai alasan pemilihan tes yang digunakan
·
Tes yang dilakukan wajib mengikuti pedoman
dan petunjuk yang berlaku secaraketat
·
Data testing diintegrasikan dengan informasi
lain yang didapat dari konselee atau sumber lain. Data hasil testing wajib
setara dengan data tentang konselee
·
Hasil testing dapat diberikan kepada orang
lain selama itu tidak menyalahi aturan
3.
STATE
Tujuan utama dari tahap ini adalah membahas
bersama klien apa yang diinginkannya dalam proses tersebut. klien diajak untuk
merumuskan tujuan berkaitan dengan permasalahannya. Dalam tahap ini, klien
dajak mendiskusikan apa saja yang hendaknya ia lakukan dalam konseling sehingga
dapat mewujudkan tujuannya tersebut. Dalam tahap ini, membahas
alternatif-alternatif yang dapat ditempuh dalam proses dimaksud. Klien diajak
mendiskusikan prosedur yang akan digunakan untuk mencapai hasil dan
bernegosiasi tentang beberapa kesepakatan kerja.
4. INTERVENTION
Tujuan dan strategi konseling pada tahap ini
ditentukan oleh masalah klien, pendekatan dan teori yg digunakan konselor,
keinginan klien dan gaya komunikasi yang dibangun oleh keduanya. Seringkali
pada step ini memerlukan ekspresi perasaan lebih apabila klien mengalami
kebingungan atau penderitaan. Seringkali diperlukan klarifikasi lebih jauh
dalam kasus apapun karena masalah yang ditimbulkan dapat berubah-ubah sejalan
dengan diskusi.
Beberapa kegiatan pada tahap ini adalah:
a.
Klarifikasi sifat dasar
masalah dan memilih strategi
Tujuan proses konseling
pada tahap ini yang paling penting adalah menentukan strategi terbaik yang akan
digunakan. Tujuan yang kedua adalah untuk mengetahui sumber-sumber apakah yang
dimiliki seseorang sebagai konselor untuk mempermudah tercapainya tujuan.
b.
Proses Problem-solving
(penyelesaian masalah)
·
Mengembangkan pernyataan yang jelas dari masalah klien dalam bentuk
tujuan yang akan dicapai.
·
Menggambarkan penyelesaian masalah atau proses pengambilan
keputusan.
·
Menyusun atau mengumpulkan data yang relevan dari interview materi
khusus dan instrumen assessment
·
Mendikusikan data dan memformulasikan alternatif tindakan.
·
Menerapkan test yang relevan dan prosedur diagnosa terhadap
alternatif tindakan.
·
Mengembangkan suatu rencana dan menerapkan langkah-langkah
tindakan.
·
Mencoba rencana dalam simulasi atau setting yang nyata.
·
Mengevaluasi hasil dan merubah rencana sesuai data.
c.
Penyelidikan Perasaan
Klien Lebih Jauh
Pada tahap ini yang
harus dilakukan adalah pengambilan keputusan tentang apa yang harus didalami
lebih lanjut.
d.
Kriteria untuk
memperluas penelitian mengenai perasaan klien.
·
Sifat dasar dan seberapa kerasnya gejala-gejala yang terdapat pada
klien. Contoh : Memperpanjang pikiran-pikiran yang bersifat khayalan hampir
selalu merupakan tanda penyakit kejiwaan. Teriakan-teriakan histeris dimana
rasa ketakutan dan kesopanan tidak terkontrol terus menerus disemburkan juga
merupakan contoh lain situasi dimana ini merupakan hal-hal di luar bidang
konseling dan lebih banyak merupakan kasus yang membutuhkan psikoterapi
intensif yang menggunakan terapi obat.
·
Lamanya gejala dan apakah gejala tersebut bersifat menetap pada
diri klien. Contoh : Bila kebiasaan seperti mencuri sangat sulit untuk
dijelaskan dengan data yang ada dan bersifat menetap pada diri klien
kemungkinan besar orang tersebut bermasalah dengan proses ilmu penyakit.
·
Sifat dasar kecenderungan dan pengalaman-pengalaman yang telah
tersimpan lama.
·
Stabilitas masa lalu dan fungsi pertahanan diri.
·
Penolakan terhadap psikoterapi.
·
Waktu yang tersedia.
·
Kebijaksanaan institusi dalam pelaksanaan terapi.
e.
Nilai dan batas
Pengeksperesian Perasaan
“Ventilasi perasaan”
sebagaimana sering disebut memiliki beberapa keuntungan dan batasan. Manfaat
yang pertama adalah perasaan lega yang diberikan dari ketegangan psikologis
yang kuat. Yang kedua adalah kesadaran akan adanya kelegaan dari tekanan emosi.
Perasaan puas dan keberaniaan seringkali akan mengikuti setelahnya. Mereka
merasakan perasaan aman dan bebas dan kebiasaan melindungi perasaannya yang
secara terus menerus, hingga akhirnya memiliki keberanian untuk menyelesaikan
masalahnya. Dengan demikian energi kreatif yang baru terlepaskan. “Catharsis”
adalah situasi dimana klien merasa tidak perlu untuk meneruskan ke masalah
penyebab dari kesulitan-kesulitan yang mereka alami dan mengambil
langkah-langkah yang penting bagi perubahan tingkah laku dan perbuatan mereka.
Mereka meninggalkan konseling dengan kondisi yang disebut “flight into health”
(terbang menuju sehat).
Membiarkan klien untuk terus berada pada perasaan lega yang meringankan secara
terus menerus tanpa membawa mereka pada fase kesadaran dan pengambilan tindakan
dari konseling tersebut mungkin akan memperkuat pola gangguan emosi atau jiwa
yang berketerusan. Contohnya depresi. Dengan membiarkan klien bercerita tentang
kesedihan terlalu lama hanya akan membuat dia terus berfikir bahwa dia adalah orang
yang malang.
f.
Mengekspresikan Perasaan
dalam Model Aktualisasi.
Step ke-4 sambungan
dengan kegiatan penyelesaian masalah dan tujuan dalam model aktualisasi
melibatkan penyeledikan perasaan pada seluruh level. Terdapat perasaan yang
berirama sepanjang dimensi polar dari level aktualisasi menuju ke pusat dan
kembali di arah yang lain. Contohnya, bila klien dapat menyelidiki perasaan
yang berhubungan dengan nilainya sebagaimana manusia atau perasaan takut,
kesepian atau marah yang sangat kuat pada awal proses. Klien di dorong untuk
merasakan kemarahan saat mereka merasa dirinya kesal dan marah atau untuk
mengalami rasa cinta saat memberikan respon terhadap kenyataan yang didapat.
g.
Membangkitkan kesadaran
klien untuk berubah
Konseling memungkinkan
tumbuhnya kesadaran aktualisasi diri. Kesadaran ini berarti pengetahuan tentang
diri sendiri melalui apa yang dilihat, didengar dan apa yang dirasakan seseorang
atau mendapat pemahaman baru.
Pada step kelima ini hal
yang penting konselor mulai bekerja dari pembahasan perasaan sampai memiliki
kesadaran, hal ini bertujuan untuk menjadikan klien memperoleh kesadaran yang
dibutuhkan dalam mencapai tujuan mereka selama mengikuti proses konseling.
Ada tiga kritikan yang
terdapat dalam step ini yaitu :
·
Banyak klien meninggalkan konseling sewaktu mengalami ketidakcocokkan
dalam langkah keempat.
·
Sewaktu klien telah mengekspresikan perasaannya dengan
sungguh-sungguh dan menyadari ketidakberdayaan sementara masalah ini menjadi
kritis maka proses psikotik bertambah berat, dan kebanyakan klien seperti
mempunyai pertahanan diri dan mempunyai berbagai tipe kemorosotan mental yang
disebut psikotik.
·
Apabila klien telah mencapai pada kepuasan perasaan, gembira,
pengalaman ini sering menjadikan klien untuk mengambil keputusan untuk
mengakhiri konseling dan berkesimpulan bahwa keadaan telah baik saat itu,
sehingga proses konseling tidak mempunyai kesepakatan antara konselor dengan
klien tindakan apa yang mesti dilakukan klien.
h.
Pola Respon yang
Manipulatif
Empat pola respon yang
manipulatif yaitu:
·
Respon senang dan gembira dipelajari mulai dari awal kehidupan,
yaitu ketika bayi menemukan bahwa respon tertentu sangat efektif untuk
menundukkan orang tua mereka. Pengaruh respon ini disempurnakan melalui
pelatihan pengurangan kepentingan diri sendiri yang akan mengutamakan
kepentingan orang lain, sehingga disebut orang yang baik, orang yang suka
menolong atau ibu yang suka berkorban. Kita menduga bahwa seseorang yang
melakukan tingkah laku ini berarti mereka melakukan tingkah laku baik.
·
Respon mengutuk dan
menyerang sebagai pengganti perasaan marah. Orang yang mengutuk atau mengkritik
satu sama lainnya merupakan wujud tingkah laku rendah diri.
·
Respon kerja keras dan berprestasi, yang dinyatakan dalam bentuk
tingkah laku perhitungan dan mendikte. Tingkah laku pengganti adalah
menampakkan kekuatan yang sejati menjadikan terus menerus dirinya menjadi orang
yang mampu dan superior, mereka menghabiskan banyak waktu mengatur orang lain
sesuai dengan apa yang dianggapnya baik. Orang yang perhitungan adalah orang
yang secara tidak langsung mencari seseorang agar menerima ide-idenya.
·
Respon yang menunjukkan kelemahan dengan menarik diri dan menjauhi
orang lain sering berkata “saya tidak mampu”…kamu saja yang melakukannya.
Mereka tergantung kepada orang lain dalam hal berfikir dan berbuat.
i.
Gaya Karakter
Gaya merupakan perluasan
dan sebagai pengendali dalam kesadaran. Tujuan proses konseling yang penting
adalah untuk menolong klien menyadari gaya-gaya ini, sehingga mereka lebih
mengaktualisasikan diri dan memfungsikan dalam pencapaian tujuan. Gaya yang
lain adalah tipe tingkah laku masochestik, yaitu tipe perjuangan diri sendiri.
Tingkah laku psikopatik ini tidak hanya menggambarkan perasaan marah, tetapi
juga kehalusan dan cinta.
Usaha kerja berkembang
menjadi gaya karakter yang rigid, untuk tampil lebih kuat dan berkeyakinan,
misalnya seorang menjadi workholic/pecandu kerja. Gaya karakter schizoid adalah
tingkah laku yang menunjukkan kebajikan tetapi lebih suka menyendiri,
menyangkal, terpengaruh dan menuntut pengertian dan penerimaan.
Tujuan proses konseling yang mendasari bagi semua gaya karakter memanipulatif,
ini adalah untuk menyadari bagaimana terjadinya pemutarbalikan perasaan dasar
itu. Startegi kunci adalah dengan menginterpretasikan bagaimana pemutarbalikan
terjadi dalam perekembangan diri seseorang dan bagaimana pula pemutarbalikan
itu dapat mengganggu proses aktualisasi diri. Pengekspresikan kebutuhan dasar
melalui gejala tubuh adalah pendekatan mendasar untuk menyadari perasaan
ditolak. Klien didorong untuk menghentikan gaya karakter yang tidak berfungsi,
sehingga menjadi lebih fleksibel dan terbuka menerima perubahan.
j.
Tujuan inti dari
strategi
Tujuan inti merupakan
eksistensi seseorang, mereka belajar untuk meyakini diri mereka sendiri
melebihi sekedar “eksternal authority” . Mereka belajar untuk merasa nyaman
dengan kutub perasaan marah, kesendirian dan keputusasaan dan kelemahan. Tujuan
selanjutnya adalah merealisasikan energi-energi untuk aktivitas-aktivitas yang
kreartif dari inti karakter energi yang kurang menimbulkan kurangnya usaha
dalam berbagai aktivitas kehidupan, artinya mendengarkan kebijakan dari pusat
dan pengalaman seseorang seserasi mungkin.
k.
Perencanaan kegiatan
atau tindakan
Tujuannya adalah
membantu klien untuk menempatkan ide-ide dan kesadaran baru yang ditemukan ke
dalam tindakan kehidupan sesungguhnya dalam rangka mengaktualisasikan model.
Hal ini berarti memungkinkan klien untuk bebas bergerak diantara dua kutub
dimensi perasaannya, dengan menggunakan kemampuan kognitifnya tanpa ada campur
tangan dari pihak luar, hidup secara harmonis dengan dirinya sendiri dan
berfungsi secara efektif dalam dunianya.
Pengalaman-pengalaman
hidup yang teratur menjadi medium teraputik yang paling baik, sekalipun klien
telah terbebas dari tekanan perasaan, memperoleh kesadaran tentang
arahan-arahan baru yang potensial dan komitmen dengan tindakannya.
5.
END
Kriteria utama
keberhasilan konseling dan indikator kunci mengakhiri proses konseling dan
terapi adalah sejauh mana klien telah mencapai tujuan konseling. Hal yang harus
dipikirkan oleh konselor atau ahli terapis adalah menilai kemajuan yang dicapai
dalam proses konseling dan psikoterapi. Ada beberapa pertanyaan tentang
konseling yaitu sampai sejauh mana konseling dapat membantu klien? Jika tidak
terbantu, mengapa? Jika tujuan tidak tercapai, kemajuan apa yang telah
diperbuat terhadap mereka?
Kesulitan dalam menjawab
pertanyaan ini terletak pada penentuan pengaruh konseling yang bertolak
belakang dengan pengalaman-pengalaman di luar konseling yang mempengaruhi
perubahan klien, apa kriteria atau alat ukur yang standar tentang keberhasilan
konseling tersebut. Pendekatan mutakhir menekankan bahwa perubahan-perubahan
itu dipengaruhi oleh variabel-variabel tertentu seperti reward dan pola dengan
teknik analog eksperimental dan telah ditinjau ulang oleh Zytowsky (1966), yang
diteliti adalah perilaku konselor dan perilaku klien.
Salah satu kesulitan
dalam menilai konseling dan psikoterapi adalah menentukan kriteria eksternal
yang tepat dan spesifik untuk memperkirakan kemajuan-kemajuan yang dicapai
dalam proses konseling.
Masalah kedua adalah
keterbatasan instrumen dan teknik untuk mengukur perubahan hasil konseling.
Hasil penelitian sering diinterpretasikan bahwa indikasi konseling tidak baik
dan terapi yang dilakukan dalam waktu yang lama kurang efektif dibandingkan
dengan terapi yang dilakukan dalam waktu yang singkat (Eysenk, 1952).
Literatur tentang
penilaian konseling dan psikoterapi sangat banyak dan membingungkan. Studi
penilaian konseling dan psikoterapi dapat dibedakan menjadi kategori pokok,
yaitu :
a.
Studi tindak lanjut tentang sikap-sikap klien terhadap pengalamannya
dengan menggunakan kuisiner atau wawancara.
b.
Pendapat konselor tentang perubahan yang terjadi dalam proses
konseling tentang kemajuan yang dicapai.
c.
Studi proses internal berdasarkan atas penilaian yang seksama
tentang perubahan verbal, wawancara yang berkesinambungan, metode ini sangat baik
apabila tersedia rekaman.
d.
Metode-metode eksternal yang didasarkan atas pengukuran yang
objektif tentang perubahan perilaku, misalnya adalah tes-tes kepribadian,
seperti Minnesota multiphasic, sebelum dan sesudah konseling.
Dari diskusi sebelumnya pembaca akan menyadari
bahwa seorang konselor atau psikoterapis mesti membuat beberapa pertimbangan
terlebih dahulu dalam proses. Jenis dan luas pertolongan yang diberikan akan
tergantung pada faktor-faktor berikut :
a.
Kebutuhan Klien dan
Variabel
Klien mempunyai masalah
untuk diselesaikan, seperti pilihan terhadap pangan, seleksi pekerjaan,
mencapai keputusan perceraian, atau perasaan yang lebih nyaman dengan
keinginan. Ekspresi dari kebutuhan klien ini dapat dikonstruksikan oleh
konselor sebagai suatu masalah yang diselesaikan dalam konseling dan/atau
ekspresi simptomatik (yang merupakan gejala) dari gangguan kepribadian yang
lebih dalam. Pertanyaan pertama yang penting adalah, “Siapa klien saya?” Klien
bisa berupa banyak orang, seperti dalam kasus suatu keluarga. Aturan umum
adalah bahwa klien adalah seseorang yang “mempunyai” masalah, atau seseorang
yang paling termotivasi untuk berubah melalui proses yang baru saja dijelaskan.
Treatabilitas (kemampuan untuk dapat melakukan) adalah variabel klien yang lain
yang mempengaruhi perencaan terapi. Apakah klien sungguh membutuhkan
pertolongan. Apakah dia termotivasi dan siap? Apakah klien mampu mendapat
untung dari konseling yang saya berikan? Apakah struktur dan defensif karakter
klien berfungsi seperti itu, tidak mungkin berubah? Ahli terapi mesti menyadari
bahwa tidak semua klien dapat ditolong. Jika kebanyakan pertanyaan dijawab
dengan negatif, pilihan yang realistik adalah memperkirakan bahwa klien tidak
siap melakukan konseling pada saat sekarang ini dengan konselor. Konselor
mungkin dapat memberikan layanan terbatas pada klien dalam menolongnya berpikir
melalui pilihan langsung yang klien dipaksa untuk mengambilnya.
Orang mana yang sebaiknya mendapatkan banyak waktu sering ditentukan oleh
pilihan pribadi masing-masing dan nilai sosial dari konselor. Kita merasakan
bahwa kriteria utama siapa yang sebaiknya mendapat konseling sebaiknya
berdasarkan kepada apakah klien mendapat keuntungan dari pelayanan yang
diberikan dan dari kemungkinan pertolongan yang bisa diberikan konselor lebih
dari pada konselor yang lain. Dengan kata lain, para konselor sebaiknya
menanyai dirinya sendiri apakah klien akan lebih baik atau tidak tanpa
pertolongan yang mereka berikan. Perlu juga dikenali bahwa ada sebagian
organisasi bekerja pada kriteria tertentu seperti menolong orang dalam jumlah
besar, lebih mementingkan yang muda dari orang tua, orang yang mengalami
gangguan yang tidak parah, atau ada juga yang lebih memfokuskan untuk
memberikan kontribusi sosial yang lebih besar.
Pengetahuan psikologi
dari klien dan dasar-dasar konseling dapat atau tidak menjadi keuntungan.
Pendapat kita adalah bahwa keruwetan psikologi dapat mempercepat kemajuan jika
pengetahuan tidak terlalu melepaskan diri pada pembelaan intelektual klien.
Formulasi diagnostik mengenai sifat dan keparahan dari masalah emosi juga
merupakan faktor. Topik ini dicakup pada bagian akhir pada bab berikutnya.
b.
Konselor dan Variabel
Agen
Penilaian konselor atau
terapis mengenai kebutuhan, masalah dan kondisi klien untuk pertolongan
mempengaruhi perencanaan. Kemampuan konselor menentukan tingkat atau intensitas
dari konseling. Jenis agen dimana konselor berfungsi juga menentukan. Misal, situasi
seorang konselor yang sedang bekerja di sekolah menengah mempunyai batasan yang
diatur oleh kebijakan yang mengawasi fungsi psikoterapi pada sekolah lain.
Level konseling mungkin diatur pada level permukaan atau penopang walaupun
konselor mempunyai kemampuan yang lebih. Seorang konselor yang bertugas pada
suatu klinik, dimana ada banyak rekan dan spesialis dari berbagai bidang untuk
berdiskusi bagi klien, bisa merencanakan konseling lebih luas dan lebih
intensif. Setelah mempertimbangkan variabel-variabel klien, agen dan
konselor-terapis, konselor-terapis dan klien bersama-sama mesti memutuskan
apakah akan melanjutkan kegiatan, tujuan atau maksud, lama waktu, dan
pendekatan umum yang akan dilaksanakan.
REFERENSI
Hood, A.B., & Johnson, R.W., 1993. Assessment in Counseling: a Guide to the Use Psychological Assessment Procedures. American Counseling Assocition
Ratna Widiastuti. 2010. “Asessmen Intrumen Untuk Melakukan Asesmen dalam Bimbingan dan Konseling”. (online), (http://blog.unila.ac.id, diakses 7 Januari 2021).
Brammer, Lawrence M, 1982, Therapeutic Psychology, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey
Prayitno. 2005. Konseling Pancawaskita. Padang: FIP Universitas Negeri Padang.
Komentar
Posting Komentar