TOPIK 4. TIPE-TIPE KONSELING DAN PSIKOTERAPI

 

1.      KONSELING INDIVIDU DAN KELOMPOK

1.1  KONSELING INDIVIDU

Konseling individual yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik atau konseling mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) dengan guru pembimbing dalam rangka pembahasan pengentasan masalah pribadi yang diderita konseling. Konseling individual adalah proses pemberian bantuan yang di lakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Konseling individual adalah kunci semua kegiatan bimbingan dan konseling. Karena jika menguasai teknik konseling individual berarti akan mudah menjalankan proses konseling yang lain. Proses konseling individu berpengaruh besar terhadap peningkatan klien karena pada konseling individu, konselor berusaha meningkatkan sikap siswa dengan cara berinteraksi selama jangka waktu tertentu dengan cara bertatap muka secara langsung untuk menghasilkan peningkatan pada diri klien, baik cara berpikir, berperasaan, sikap, dan perilaku. Tujuan umum konseling individu adalah membantu klien menstrukturkan kembali masalahnya dan menyadari life style serta mengurangi penilaian negatif terhadap dirinya sendiri serta perasaan-perasaan inferioritasnya. Kemudian membantu dalam mengoreksi persepsinya terhadap lingkungan, agar klien bisa mengarahkan tingkah laku serta mengembangkan kembali minat sosialnya.

Metode yang digunakan dalam pelayanan konseling adalah:

  • Directive; konseling dengan adanya pengarahan. Metode ini dilakukan jika klien benar-benar dalam kondisi kritis dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapinya, tingkat pendidikan yang rendah, kepribadian yang tertutup, serta klien kurang memiliki pengetahuan tentang bagaimana konsep keberagamaan seseorang dalam mengahadapi masalah dan menyelesaikannya berdasarkan syari'at-syari'at Islam.
  • Non-directive: konseling dengan tanpa pengarahan. Metode ini dilakukan jika klien dianggap mampu memecahkan masalahnya sendiri. Tiada orang yang lebih tahu masalah dan cara pemecahannya daripada dirinya sendiri. Konselor hanya memberikan stimuli dengan sikap yang empati, penerimaan tanpa syarat, dan menyatu dengan klien agar klien merasa diterima dan merasa mampu memecahkan masalahnya sendiri.

1.2  KONSELING KELOMPOK

A.    Pengertian Konseling

Kelompok Menurut Prayitno (2004) layanan konseling kelompok pada dasarnya adalah layanan konseling perorangan yang dilaksanakan didalam suasana kelompok. Disana ada konselor dan ada klien, yaitu para anggota kelompok (yang jumlahnya minimal dua orang). Disana terjadi hubungan konseling dalam suasana yang diusahakan sama seperti dalam konseling perorangan yaitu hangat, permisif, terbuka dan penuh keakraban. Dimana juga ada pengungkapan dan pemahaman masalah klien, penelusuran sebab-sebab timbulnya masalah, upaya pemecahan masalah (jika perlu dengan menerapkan metode-metode khusus), kegiatan evaluasi dan tindak lanjut. Menurut Dewa Ketut Sukardi (2003) konseling kelompok merupakan konseling yang di selenggarakan dalam kelompok, dengan memanfaatkan dinamika kelompok yang terjadi di dalam kelompok itu. Masalah-masalah yang dibahas merupakan masalah perorangan yang muncul di dalam kelompok itu, yang meliputi berbagai masalah dalam segenap bidang bimbingan (bidang bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir). Menurut Winkel (2007) konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis, yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang disadari. Menurut Gazda (1989) dalam Tatik Romlah (2001) konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis yang memusatkan diri pada pikiran dan perilaku yang sadar dan melibatkan fungsi-fungsi seperti sikap permisif, orientasi pada kenyataan, katarsis, saling pengertian, saling menerima dan membantu. Menurut Tatik Romlah (2001) konseling kelompok adalah upaya untuk membantu individu agar dapat menjalani perkembangannya dengan lebih lancar, upaya itu bersifat pencegahan serta perbaikan agar individu yang bersangkutan dapat menjalani perkembangannya dengan lebih mudah. Dari uraian-uraian yang disampaikan beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwasanya konseling kelompok merupakan salah satu layanan konseling yang diselenggarakan dalam suasana kelompok yang memanfaatkan dinamika kelompok, serta terdapat hubungan konseling yang hangat, terbuka, permisif dan penuh keakraban. Hal ini merupakan upaya individu untuk membantu individu agar dapat menjalani perkembangannya dengan lebih lancar, upaya itu bersifat preventif dan perbaikan. Sebab, pada konseling kelompok juga ada pengungkapan dan pemahaman masalah klien, penelusuran sebab-sebab timbulnya masalah, upaya pemecahan masalah, kegiatan evaluasi dan tindak lanjut.

B.     Tujuan Konseling Kelompok

Menurut Dewa Ketut Sukardi, (2002:49).Tujuan konseling kelompok meliputi:

a.       Melatih anggota kelompok agar berani berbicara dengan orang banyak

b.      Melatih anggota kelompok dapat bertenggang rasa terhadap teman sebayanya

c.       Dapat mengembangkan bakat dan minat masing-masing anggota kelompok

d.      Mengentaskan permasalahan – permasalahan kelompok.

Menurut Mungin Eddy Wibowo, (2005:20). Tujuan yang ingin dicapai dalam konseling kelompok, yaitu pengembangan pribadi, pembahasan dan pemecahan masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok, agar terhindar dari masalah dan masalah terselesaikan dengan cepat melalui bantuan anggota kelompok yang lain.

Bentuk-bentuk Konseling Kelompok

Wawancara: proses tanya jawab antar anggota kelompok mengenai topik tertentu. Ini dilakukan di awal konseling kelompok agar anggota kelompok dapat saling mengenal, baik sesama mereka maupun dengan dosen dan mahasiswa/i yang akan memberikan konseling kepada mereka.

Diskusi kelompok: dipandu oleh salah seorang mahasiswa sebagai pemimpin kelompok, dan mahasiswa lainnya sebagai observer.

Brainstorming: mendiskusikan cara-cara pemecahan satu masalah.

Buzz session: diskusi informal tentang topik tertentu yang muncul secara spontan, dipandu pemimpin kelompok. – Kelompok aktivitas: aktivitas informal seperti seni dan keterampilan. Anggota kelompok diajarkan untuk dapat menggali kreativitas dan mengasah potensi yang dimiliki. 

2. TERAPI KOGNITIF, KELOMPOK, KELUARGA, HUMANISTIK, BEHAVIOR DAN PSIKOANALISA

2.1  TERAPI KOGNITIF

2.1.1        Pengertian

Menurut Kaplan, 1997 (dalam Helmi Priyono, 2013) terapi kognitif adalah terapi terstruktur jangka pendek yang menggunakan kerja sama aktif antara pasien dan ahli terapi untuk mencapai tujuan terapetik. Terapi ini berorientasi terhadap masalah sekarang dan pemecahannya. Terapi biasanya dilakukan atas dasar individual, walaupun metode kelompok juga digunakan. Terapi juga dapat digunakan bersama -sama obat. Terapi kognitif telah diterapkan terutama untuk gangguan  depresi  (dengan  atau tanpa gagasan bunuh diri), tetapi ini juga telah digunakan pada kondisi lain, seperti gangguan panik, gangguan obsesif -kompulsif, dan gangguan kepribadian paranoid dan gang guan somatoform. Terapi depresi dapat berperan sebagai paradigma pendekatan kognitif.

Terapi kognitif merupakan suatu perawatan psikologis yang dirancang untuk melatih pasien mengidentifikasi dan mengoreksi pikiran-pikiran negatif, sehingga pikiran/perasa an  negatif  tersebut dapat ditekan Teasdale et al., 1984 (dalam Helmi Priyono, 2013). Menurut Derubeis et al.,2005 (dalam Helmi Priyono, 2013)  terapi kognitif akan lebih efektif dari obat antidepresan pada perawatan awal untuk depresi berat sampai depresi sedang. Tetapi derajat efektifitasnya tergantung dari keahlian dan pengalaman dari terapis. Terapi kognitif menjadi intervensi yang manjur yang bisa digunakan untuk orang yang berisiko tinggi menderita penyakit kejiwaaan Morrison et al., 2004 (dalam Helmi Priyono, 2013)

2.1.2        Tujuan

  • Langsung: memperbaiki (menghentikan, mengganti/mengubah ) proses pikir.
  • Tidak langsung: mengurangi sampai dengan menghilangkan perilaku yang menyimpang, meningkatkan perilaku yang produktif, dan meningkatkan kepuasan serta penerimaan diri  Ade  dkk, 2007 (dalam Helmi Priyono, 2013)

2.1.3        Ciri-Ciri Umum Terapi Kognitif

Terapi kognitif adalah suatu bentuk terapi jangka pendek yang teratur, yang memberikan dasar berpikir

kepada pasien untuk mengerti masalahnya, memiliki kata-kata untuk menyatakan dirinya dan teknik -

teknik untuk mengatasi keadaan perasaan yang sulit, serta teknik pemecahan masalah. Menurut

Davidson, 1990 (dalam Helmi Priyono, 2013)  ciri-ciri umum terapi kognitif adalah

  • Model belajar: tidak memakai susunan hipotesis kembali tingkah laku yang lebih fungsional.
  • Metode ilmiah yang dipakai adalah eksperimen, terapinya melibatkan pengumpulan data (masalah,  pikiran,  sikap), perumusan hipotesis, menyusun hasil experimen dan mengevaluasi hasilnya.
  • Pekerjaan rumah: pasien diberikan tugas -tugas untuk mengumpulkan data, fungsi hipotesis, dan melaksanakan keterampilan kognitif.
  • Kerja sama: pasien dan terapis bekerja sama untuk memecahkan masalah.
  • Aktif dan membimbing: terapis memegang peranan aktif dan membimbing selama penyembuhan. Kadang –kadang bersifat deduktif, tetapi peranan utamanya adalah memudahkan perumusan dan pemecahan masalah.
  • Cara bertanya ’ala Socrates: metoda terapeutis pokok adalah pertanyaan ‘ala Socrates yang menanyakan sejum lah pertanyaan yang bertujuan agar pasien menemukan pikiran –pikiran bawah sadarnya, untuk melihat alternatif pemecahan atau untuk merubah pendapatnya.
  • Ahistorikal: menyangkut keadaan disini dan sekarang tanpa  kembali ke sejarah masa lalu yang sudah lama terjadi Keterbukaan: proses terapeutis tidak diliputi hal –hal yang mistik tetapi bersifat jelas dan terbuka. Ter apis dan pasien sama–sama mengerti apa yang berlangsung dalam terapi.

2.1.4        Distorsi Kognitif

Para ahli terapi kognitif percaya bahwa respon maladaptif berasal distorsi (penyimpangan kognitif).

Macam -macam distorsi kognitif yaitu:

  • Pikiran “semua atau tidak sama sekali”: melihat segala sesuatu itu adalah hitam putih. Kalau bukan dia lebih baik saya mati, kalau tidak dengan dia, lebih baik tidak nikah selamanya, Ade  dkk,  2007 (dalam Helmi Priyono, 2013)
  • Over Generalization: Anda memandang suatu peristiwa  yang negatif sebagai suatu pola kekalahan tanpa akhir. Prawitasari dkk, 2002 (dalam Helmi Priyono, 2Filter Mental: pola kognitif yang distorsi dengan bentuk, pada diri seseorang menemukan hal yang kecil negatif, tetapi hal itu cukup untuk menutupi realitas yang ada sehingga menjadi  gelap, Ade dkk, 2007 (dalam Helmi Priyono, 2013)
  • Mendiskualifikasi yang positif: anda menolak pengalaman - pengalaman positif dengan bersikeras bahwa semua itu bukan apa - apa. Dengan cara ini anda  dapat  mempertahankan suatu kenyakinan negatif yang bertentangan dengan pengalaman - pengalaman anda sehari-hari.
  • Loncatan kesimpulan: membuat sebuah penafsiran  negatif walaupun tidak ada fakta yang jelas mendukung kesimpulan penafsiran tersebut. 

2.1.5        Strategi Penanganan Perilaku Distorsi Kognitif

Menurut Setiono, 2005 (dalam Helmi Priyono, 2013) strategi penanganan perilaku distorsi ko gnitif meliputi:

a.      Restrukturisasi kognitif

·         Memonitor pikiran dan perasaan.

·         Pertanyaan adanya fakta dan interpretasi fakta tersebut.

·         Memeriksa alternatif. Alternatif  dieksplorasi     berdasarkan kekuatan dan sumber koping pasien.

·         Decatastropizing: dikatakan juga teknik ”bagaimana jika”.Akan menolong pasien untuk mengevaluasi situasi yang ada. Pertanyaan perawat biasanya ”apa hal terburuk yang akan terjadi?” atau ”akankah begitu buruk jika hal itu benar -benar terjadi?” dan ”bagaimana orang lain mengatasi hal te rsebut”.

·         Reframing: strategi yang memodifikasi atau merubah persepsi pasien dari situasi atau perilaku yang ada dengan melihat dari perspektif yang berbeda.

·         Berhenti berpikir: teknik ini sangat baik digunakan pada saat disfungsi pemikiran muncul. Pertama k ali saat pasien mengidentifikasi pikiran tentang masalah dan membicarakan masalah (melalui imajinasi) perawat akan berkata  ”stop”. Setelah itu klien perlu melatih hal itu sendiri.

·         Menurunkan cemas terdiri dari  beberapa  cara  yaitu  teknik reaksasi, biofeedback, systematic desensitization, flooding , pencegahan respon Mempelajari perilaku baru, dengan cara: modeling, shaping, token economy, latihan kemampuan sosial , aversion therapy, contingency contracting Setiono, 2005 (dalam Helmi Priyono, 2013)

2.2  TERAPI KELOMPOK

2.2.1 Konsep Terapi Kelompok

Terapi Kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih. Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi klien dengan gangguan interpersonal. Keuntungan yang diperoleh individu melalui terapi aktivitas kelompok ini adalah dukungan (support), pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan hubungan interpersonal dan meningkatkan uji realitas sehingga terapi aktivitas kelompok ini dapat dilakukan pada karakteristik gangguan seperti : gangguan konsep diri, harga diri rendah, perubahan persepsi sensori halusinasi, klien dengan perilaku kekerasan atau agresif dan amuk serta menarik diri/isolasi sosial. Selain itu, dapat mengobati klien dalam jumlah banyak, dapat mendiskusikan masalah-masalah secara kelompok, menggali gaya berkomunikasi, belajar bermacam cara dalam memecahkan masalah, dan belajar peran di dalam kelompok. Namun, pada terapi ini juga terdapat kekurangan yaitu : kehidupan pribadi klien tidak terlindungi, klien kesulitan mengungkapkan masalahnya, terapis harus dalam jumlah banyak. Dengan sharing pengalaman pada klien dengan isolasi sosial diharapkan klien mampu membuka dirinya untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga keterampilan hubungan sosial dapat ditingkatkan untuk diterapkan sehari-hari.

2.2.2 Munculnya Gangguan

Terapi kelompok digunakan apabila pasien yang mengalami karakteristik gangguan seperti kebingungan konsep diri, harga diri rendah, perubahan persepsi sensori halusinasi, kekerasan, atau menarik diri dari lingkungan social yang sudah tidak dapat ditangani lagi oleh terapi yang bersifat individual.

2.2.3 Jenis dan Tujuan Terapi Kelompok menurut Rawlins, Wiliams dan Beck (1993)

·         Kelompok terapeutik

Bertujuan mencegah masalah kesehatan, mendidik, mengembangkan potensi, meningkatkan kualitas kelompok dengan angota saling bantu dalam menyelesaikan masalah.

·         Terapi kelompok

Membuat sadar diri, meningkatkan hubungan interpersonal dan membuat perubahan.

·         Terapi aktivitas kelompok

Aktivitas dapat berupa latihan sosialisasi dalam kelompok yang dilakukan secara bertahap. Selain itu, dapat juga berupa melakukan hal yang menjadi hobinya seperti menyanyi, saat melakukan hobi, terapis mengobservasi reaksi pasien berupa ekspresi perasaan secara nonverbal.

Secara umum, dapat kita simpulkan bahwa tujuan dari terapi kelompok adalah untuk meningkatkan kesadaran diri, meningkatkan hubungan interpersonal, membagi emosi atau perasaan yang dimiliki pasien dan agar pasien mandiri.

2.2.4 Peran Terapis

Terapis membantu, mendorong pasien secara aktif agar mencapai tujuan-tujuan dari terapi kelompok

2.2.5 Teknik-teknik Terapi

Berikut sejumlah teknik yang dapat digunakan ketika melaksanakan terapi kelompok :

·         Teknik yang melibatkan para anggota

·         Teknik yang melibatkan pemimpin

·         Menggunakan babak-babak terapeutik

·         Teknik sesekali membantu lebih dari satu anggota

·         Teknik untuk bekerja dengan Individu secara tidak langsung

·         Teknik yang menyebabkan para anggota berbagi pada tingkat lebih pribadi

2.3  TERAPI KELUARGA


2.3.1        Pengertian Keluarga

Menurut North (dalam Wilkinson, 1998) keluarga adalah sekelompok orang yang diikat oleh darah, perkawinan, atau adopsi yang lantas membentuk satu rumah tangga tunggal tempat mereka menjalankan peran sebagai suami, istri, anak laki atau perempuan, ayah atau ibu, saudara laki atau perempuan dan membentuk kultur bersama. Frasa menjalankan peran ini perlu garis bawah untuk kemudian dicermati. Pada realitanya, peran-peran ini tidak dapat berlangsung dengan memadai atau dengan kata lain, ada perbedaan antara status dan peran yang dijalankan. Peran ibu, pada beberapa keluarga perkotaan, sudah banyak diambil alih oleh pengasuh. Peran ayah, tanpa dapat dihindari lagi, justru dijalankan dengan sempurna oleh ibu yang menjadi pencari nafkah utama sehingga kemudian peran sebagai pengambil keputusan ikut pula dilakoni olehnya. Peran sebagai kakak atau adik, kadang malah dipenuhi oleh teman sekolah. Pada sisi lain, antara kakak dan adik juga terjadi pertukaran peran. Statusnya kakak tapi perannya sebagai kakak malah dijalankan oleh sang adik. Adiknya lebih dominan, lebih berani dan barangkali malah lebih melindungi sang kakak. Maka begitulah, dalam suatu keluarga, siapa memainkan peran apa menjadi salah satu unsur yang mempengaruhi dinamika interaksi antar anggota keluarga

2.3.2        Masalah-Masalah Keluarga Di Masa Kini

Secara umum dapat dikatakan bahwa terapi keluarga diperlukan bila terjadi krisis dalam keluarga yang mempengaruhi semua anggota. Krisis yang terjadi dapat berupa krisis karena pindah rumah sehingga berubah pula lingkungan fisik dan sosial yang dihadapi, krisis karena kematian, kesakitan, cacat dan terkena PHK atau pengangguran. Tingkat pengangguran yang tinggi di Indonesia saat ini, sekitar 42 juta orang atau mungkin lebih menganggur, tentu bukan hal mudah untuk dihadapi oleh keluarga-keluarga Indonesia. Hasil polling yang pernah dilakukan harian Kompas beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa saat ini hampir pada tiap keluarga yang menjadi responden polling, ada satu anggotanya yang berusia produktif tetapi berstatus menganggur.

Konflik perkawinan atau perkawinan tidak harmonis juga menimbulkan krisis yang dalam intensitas tertentu memerlukan bantuan terapi. Perkawinan memang bukan suatu permainan yang berlaku aturan kalah dan menang namun suatu proses saling menyesuaikan diri sepanjang ada komitmen bersama untuk menjaga keutuhannya. Sehingga dapat dibayangkan jika terjadi konflik maka diperlukan kerjasama pasangan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Jalur komunikasi yang tersumbat perlu dibuka dengan bantuan terapis. Konflik perkawinan dapat muncul karena masalah infertilitas atau kemandulan dan biasanya masih pihak perempuan yang dipermasalahkan atau lebih banyak merasa bersalah bila sepasang suami istri lama sekali tidak mempunyai anak kandung.

Krisis lain yang dapat menimpa suatu keluarga adalah bila ada perbenturan nilai antar anggota keluarga atau antar generasi, misalnya antara orangtua sebagai generasi lama dengan remaja yang tumbuh dalam generasi yang berbeda. Istilah generation gap mencerminkan adanya kesenjangan antar generasi. Remaja sekarang gemar berfoto dan bercita-cita menjadi artis atau bintang dunia hiburan sementara orangtua masih mengutamakan sekolah dan pendidikan tingkat tinggi sebagai tangga menuju kesuksesan. Masalah semacam ini tentu menimbulkan konflik dan dapat menjadi tembok yang merintangi hubungan anak dan orangtua yang harmonis.

 Masalah lain yang dapat menjadi sumber krisis keluarga adalah bila anak mengalami gangguan perkembangan. Ibu dari seorang anak yang menderita autisme mungkin merasa tidak mendapat dukungan dari suami untuk mengatasi gangguan perkembangan si anak sehingga ia harus bekerja sendirian. Akibatnya jelas, komunikasi pasangan orangtua tersebut berhenti dan masing-masing mungkin saling menyalahkan. Pada keluarga-keluarga Indonesia, kadang-kadang krisis keluarga juga timbul bila ada pihak ketiga yang turut bermain. Misalnya jika terjadi perselingkuhan atau mertua yang terlalu banyak campur tangan urusan rumahtangga anaknya. Hubungan mertua-menantu adalah hubungan yang rentan konflik meskipun jika dapat tercipta pengertian antara keduanya maka tidak mungkin akan terjalin kerjasama yang baik. Sebagai contoh adalah bila mertua perempuan membantu menantu perempuannya dalam soal menjaga anaknya selama ditinggal sang menantu bekerja. Contoh lain adalah jika menantu dapat membaca kebutuhan-kebutuhan mertuanya seperti kebutuhan untuk diperhatikan, didengarkan kisah-kisah kehidupannya di masa lalu dan kebutuhan lain.

Selain berbagai alasan di atas, alasan lain timbulnya masalah keluarga adalah kaburnya peran yang dimainkan para anggota keluarga. Sebagaimana disinggung di depan, keluarga adalah tempat di mana orang yang terikat hubungan darah dan atau perkawinan di dalamnya menjalankan peran sebagai suami, istri, anak laki atau perempuan, ayah atau ibu, saudara laki atau perempuan dan membentuk kultur bersama. Masalah keluarga dapat muncul bila peran ini ternyata tidak dijalankan semestinya. Sering terjadi, peran sebagai ayah justru dimainkan oleh ibu. Ibu sebagai pencari nafkah utama. Sementara peran sebagai ibu, mungkin dimainkan oleh anak perempuan dalam keluarga dengan orangtua tunggal. Pada kenyataannya, lebih sering terjadi peran sebagai ibu justru dimainkan dengan sempurna oleh pengasuh atau pembantu rumah tangga. Melihat banyaknya kemungkinan persoalan keluarga, maka menurut Phares (1992), terapi keluarga atau konseling perkawinan merupakan solusi yang tepat bila permasalahan keluarga tidak bersumber dari konflik neurotik yang mendalam seperti gangguan-gangguan kepribadian tetapi berupa masalah-masalah yang dapat ditangani melalui teknik-teknik bersifat edukatif. Permasalahan tersebut misalnya adalah sikap yang keliru terhadap pasangan, kurang pengetahuan mengenai seksualitas atau kurang ada komunikasi terbuka antara suami ± istri atau anak-anak.

2.3.3        Pengertian Terapi Keluarga

Terapi keluarga mempunyai pengertian sebagai terapi yang berfokus pada interaksi antar anggota keluarga, bukan lagi suatu terapi yang berfokus pada perorangan. Terapi keluarga diperlukan karena terapi yang berpusat pada satu pribadi saja tidak akan menyelesaikan persoalan dalam keluarga secara menyeluruh. Terapi keluarga mempunyai perbedaan yang nyata dengan terapi lain yang bersifat perorangan (Holdert & Ploegmakers-Burg, 2013). Apabila dirangkum, maka tabel 1. berikut ini dapat menunjukkan perbedaan terapi individual dengan terapi keluarga.

Tabel 1. Perbedaan Terapi Individual dan Terapi Keluarga

 

Terapi individual

Terapi keluarga

Melakukan pembetulan, pembaharuan pengalaman emosional bersama terapis

Melakukan pembetulan, pembaharuan, pengalaman emosional bersama anggota keluarga dan terapis

Klien tidak terlalu merasa malu, situasi lebih pribadi.

Klien melakukan lebih banyak hal dalam situasi terbuka

Tujuannya memperkuat daya psikologis klien

Memperkuat daya psikologis orang dan keluarganya

Setelah terapi klien harus mencapai tujuan terapi sendiri

Setelah terapi, anggota keluarga masih dapat menolong karena mereka tahu bagaimana menolongnya.

 

2.3.4        Kapan Terapi Keluarga Diperlukan?

Selain bahwa terapi keluarga diperlukan karena terapi yang berpusat pada satu pribadi saja tidak akan menyelesaikan persoalan dalam keluarga secara menyeluruh, alasan lain mengapterapi keluarga diperlukan adalah bahwa orang tidak akan terlepas dari konteksnya. Konteks paling awal adalah keluarga. Di luar situasi keluarga, seseorang barangkali dapat menyelesaikan masalahnya atau berdamai dengan diri sendiri, tapi kemudian menjadi tidak berdaya atau powerless ketika berhadapan dengan orang lain dan orang lain terdekat adalah anggota keluarga.

Selain itu, keluarga membuat gangguan psikologis yang dialami seseorang dapat makin parah, bertahan atau bisa juga berkurang. Dengan kata lain, keluarga tidak selalu menjadi unsur pengurang persoalan, bisa jadi malah menambah persoalan. Suatu psikopatologi dapat menetap karena interaksi antar anggota keluarga yang tidak sehat. Misalnya anak dengan perilaku yang bermasalah dapat mengalihkan pertengkaran orangtua. Seorang anak atau remaja atau seorang dewasa yang narkobais tetap menjadi pecandu narkoba karena tidak ada anggota keluarga yang memperdulikan. Masing-masing sibuk dengan kegiatannya sendiri. Seorang mantan penderita skizofrenia dapat kambuh karena tidak ada penerimaan dari anggota keluarganya dan akhirnya harus kembali dirawat di rumah sakit.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keluarga sebetulnya adalah suatu sistem kausalitas sirkular. Situasi pada satu anggota keluarga dapat mempengaruhi anggota keluarga lainnya. Sebagai suatu sistem, maka dalam keluarga itu ada aturan, ada tujuan dan ada struktur. Aturan ini dapat berupa aturan yang disampaikan secara lisan, tapi juga dapat disampaikan melalui apa yang dilakukan atau perilaku anggota keluarga. Misalnya seorang ibu yang selalu setiap hari membangunkan anak-anak dan suaminya untuk bangun subuh. Perilaku ibu itu menyampaikan pesan kepada semua anggota keluarga agar bangun pagi dan tidak bermalasan. Seorang ayah juga dapat menyampaikan pesan aturan keluarga secara lisan dengan melarang anaknya pulang larut malam.

Tujuan suatu keluarga sesungguhnya adalah agar dapat bertahan hidup atau survive. Dalam masyarakat, hal ini dapat dilihat gamblang melalui ungkapan seperti menjaga nama baik keluarga, melanjutkan keturunan untuk meneruskan nama keluarga. Secara tersirat seolah ada tujuan untuk mengembangkan, memperkuat, suatu dinasti keluarga.

Struktur dalam keluarga adalah hirarki dan pola hubungan antar anggota keluarga. Struktur ini menciptakan stabilitas dan adanya stabilitas berarti menjamin rasa aman dan menjanjikan kesejahteraan. Ketiadaan struktur dapat mengacaukan pola hubungan antar anggota keluarga. Sebagaimana terlihat pada hasil penelitian yang dilakukan Andayani (2000) bahwa profil keluarga dari anak-anak bermasalah salah satunya adalah garis batas yang kabur antara keluarga inti dengan keluarga luas, terutama bila mereka tinggal bersama. Selain itu juga bila aturan dalam keluarga tidak jelas atau anak mendapat kesempatan “mengatur” keluarga melalui tindakannya yang bermasalah. Mengingat bahwa suatu keluarga adalah suatu sistem dan sistem itu mempengaruhi perilaku anggota keluarga maka tidak heran, banyak masalah keluarga bermunculan dan membutuhkan terapi.

2.3.5        Bagaimana Terapi Keluarga Itu?

Terapi keluarga adalah terapi yang telah menjalani masa yang panjang untuk akhirnya mendapat pengakuan sebagai terapi utama, ditulis pada banyak literatur dan dinyatakan sebagai terapi yang tersusun berdasarkan bukti-bukti atau umum disebut, evidence-based therapy.

Salah satu aspek dalam keluarga yang menjadi perhatian utama terapi keluarga adalah aspek komunikasi, baik yang verbal maupun non-verbal. Pada dasarnya  komunikasi mengandung unsur isi dan hubungan antara yang berkomunikasi. Komunikasi yang berlangsung dalam keluarga dapat berupa komunikasi yang simetris sehingga terjadi eskalasi atau memuncak dan dapat berupa komunikasi yang komplementer (Holdert & Ploegmakers-Burg, 2013).

Contoh komunikasi simetris antara lain, ayah berkata, “matikan tvnya, belajar sana” kemudian anak menjawab, “aku mau nonton OVJ”. Komunikasi atau melengkapi (semacam ini, yang berlangsung simetris, makin lama dapat makin memuncak sehingga akhirnya timbul pertentangan. Sedangkan contoh komunikasi komplementer adalah ketika ayah berkata,  “matikan tvnya, makannya dihabiskan” kemudian anak menjawab, “baiklah”. Komunikasi simetris atau komplementer ini tidak hanya terjadi pada orangtua dan anak namun dapat pula berlangsung pada anak dengan anak.

Komunikasi jenis mana yang berlangsung, dapat ditilik dari hubungan antar anggota keluarga. Sebagai suatu sIstem maka keluarga tidak hanya berisi anggotanya namun juga mengandung hubungan antar anggota. Bagaimana hubungan ini berjalan, mempengaruhi jenis komunikasi mana yang terjadi. Dalam konteks Indonesia, komunikasi anak terhadap ayah atau orangtua biasanya berbeda dengan komunikasi dari ayah atau orangtua kepada anak. Melalui hubungan antar anggota keluarga atau antara orang satu dengan orang lainnya ini dapat dilihat dinamika dan masalah keluarga.

Teknik-teknik mendasar dalam terapi keluarga biasanya berupa teknik untuk menetapkan hubungan yang saling percaya dengan keluarga. Bila pada masa-masa lalu, seorang terapis mempunyai hubungan terpisah dengan keluarga yang menjadi kliennya, perannya lebih banyak menjadi seorang “ahli” mengenai keluarga maka pada perkembangan terakhir, seorang terapis keluarga mengembangkan sistem “keluarga dan terapis”. Ini berarti, terapis itu bukan lagi berperan sebagai seorang “ahli” namun dia berada dalam konteks bersama keluarga yang menjadi kliennya. Terapis menjadi sosok yang juga ikut mengalami dan merasakan dinamika keluarga. Bersama-sama dengan keluarga yang menjadi kliennya, dia menyusun genogram mereka.

Saat menyusun genogram ini, terapis dapat memulainya dari perkembangan satu orang, kemudian beranjak ke perkembangan keluarga, kekerabatan yang ada, riwayat munculnya pandangan keluarga akan sesuatu misalnya pandangan mengenai pendidikan, kesehatan, perkawinan atau pemilihan pasangan, peran gender, pekerjaan dan bekerja, serta keyakinan dan nilai-nilai yang dianut, yang ditanamkan kepada anak-anak atau kepada keluarga itu sendiri oleh orang lain dan kemudian diteruskan dari generasi ke generasi (transgenerational perspectives). Persoalan dapat muncul apabila perkembangan budaya dan situasi sosial masyarakat menyebabkan terjadi perbedaan nilai, keyakinan dan pandangan antara generasi satu dengan yang lain.

Melalui kerjasama dengan keluarga dalam penyusunan genogram, terapis mendapat informasi lebih banyak mengenai perkembangan keluarga tersebut dalam konteks di masa lalu hingga ke masa datang (past and future). Informasi ini dapat menjadi bahan diskusi atau bahan refleksi atau bahan untuk psikoedukasi oleh terapis kepada keluarga yang menjadi kliennya.

2.3.6        Tujuan Terapi Keluarga

Setelah dijelaskan pengertian keluarga, terapi keluarga, macam-macam masalah dalam keluarga, maka pertanyaan yang muncul adalah apa sesungguhnya tujuan terapi keluarga. Tujuannya tentu tidak hanya mengubah komunikasi dari yang berupa komunikasi simetris menjadi komplementer, tapi ada tujuan lain.

Terapi keluarga pada dasarnya adalah setiap penanganan psikoterapi bagi keluarga untuk meningkatkan kohesivitas antar anggota keluarga. Dengan demikian kohesivitas keluarga inilah yang hendak dituju. Kohesivitas ini dapat diraih dengan mengubah salah satu, salah dua atau seluruhnya dari tiga hal ini, yaitu pola interaksi, gaya komunikasi dan struktur hubungan antar anggota keluarga.

Pola interaksi dalam keluarga jadi bermasalah bila ada kekuatan yang tidak seimbang (imbalance of power). Misalnya bila salah satu orangtua lebih sering bertindak sebagai pengambil keputusan daripada pasangannya. Beberapa keputusan misalnya kegiatan keluarga, masalah keuangan, rumahtangga, liburan, pendidikan, keseh atan, asuransi, hanya terdapat pada pada satu orang. Akibatnya adalah tidak ada kesetaraanyang lantas menimbulkan kegagalan hubungan keluarga.

Masalah gaya komunikasi seperti telah disebutkan, akan menjadi persoalan bila yang selama ini berlangsung dalam keluarga melulu hanya satu jenis komunikasi, entah itu komunikasi simetris atau yang komplementer. Komunikasi juga menjadi tidak efektif bila orangtua atau anggota keluarga tidak dapat berbagi pikiran, perasaan, pendapat, nilai, kebutuhan, rasa frustrasi atau bahkan kegembiraan. Maka dari itu, mereka perlu belajar meningkatkan atau memperbaiki komunikasi untuk memperkuat hubungan antar anggota keluarga.

Termasuk dalam persoalan struktur hubungan antar anggota keluarga adalah masalah pengendalian atau kontrol. Hal ini dapat terjadi bila salah satu pasangan atau anggota mengendalikan pasangannya atau anggota keluarga yang lain. Misalnya ada anggota keluarga yang secara sepihak memeriksa barang pribadi, mengancam, melakukan kekerasan, mengatur jadwal anggota keluarga lain dengan ketat, atau melarang kegiatan rekreatif.

Agar tujuan-tujuan ini dapat dicapai, ada kalanya terapis memberikan atau mengadakan semacam psikoedukasi kepada suatu keluarga. Psikoedukasi yang dimaksud adalah penjelasan mengenai gangguan mental atau kesehatan mental dan sebab serta akibatnya, sehingga seluruh angggota keluarga dapat memahaminya. Mereka dapat bertanya lebih banyak. Melalui bertanya, maka mereka dapat mengingat lebih banyak penjelasan yang disampaikan terapis.

2.3.7        Psikoedukasi Dalam Terapi Keluarga

Sebagaimana telah tersebut di atas, psikoedukasi adalah penjelasan mengenai gangguan mental dan serba-serbinya kepada keluarga. Biasanya memang disampaikan oleh seorang ahli. Alasan utama mengapa diperlukan psikoedukasi antara lain adalah makin banyaknya teori-teori yang menyebutkan keterkaitan antara lingkungan sosial dengan kondisi biologis seseorang. Sehingga seorang anggota keluarga yang mengalami gangguan fisik maka tingkat keparahan penyakitnya, peluang kesembuhan maupun peluang kekambuhan penyakitnya akan dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya pula.

Penelitian-penelitian yang lain menyebutkan bahwa psikoedukasi dapat meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan kegiatan sehari-hari, mengurangi beban keluarga atas masalah yang dihadapi sehingga otomatis mengurangi kadar stres keluarga dan juga terbukti efektif untuk dilakukan dalam berbagai latar belakang budaya.

Mengapa dapat demikian? Psikoedukasi mengajarkan kepada anggota keluarga agar mempunyai kemampuan perilaku coping yang lebih baik, dapat memodifikasi atribusi atas simptom dan tanggung jawab atas kejadian atau persoalan yang menimpa sehingga tidak lagi menyalahkan pihak eksternal atau berpikir mistis. Selain itu juga mengajarkan kepada keluarga kemampuan untuk memantau penyakit dan kemampuan menghubungi tim penanganan bila dirasakan perlu agar segera mendapat intervensi segera. Oleh karena itu, menurut Anderson (dalam Holdert dan Ploegmakers-Burg, 2013), psikoedukasi bagi keluarga dapat bersifat eklektif karena memasukkan apa yang dapat disebut sebagai “pelatihan keterampilan survival”. Ini berarti adalah bahwa para klien dengan masalah psikologis biasanya mempunyai “kecacatan psikologis dasar” yang mengacaukan proses kognitif sehingga perlu keterampilan pemecahan masalah. Contohnya adalah ketika seorang remaja laki-laki, tidak mampu membuat keputusan sendiri terkait kegiatan akademisnya seperti memilih jurusan atau kegiatan ekstrakurikuler maka yang diperlukan tidak hanya mengurangi kerentanan remaja itu untuk menyerahkan keputusan kepada orang lain (biasanya orangtua atau tokoh lain dalam keluarga) tapi juga menambah pengetahuan keluarga itu mengenai berbagai macam pilihan bidang akademik, prospeknya dan tempat belajarnya.

Secara singkat menurut Anderson dkk. (1986) psikoedukasi bagi keluarga mempunyai tujuan utama yaitu mengurangi kemungkinan “kekambuhan” pada diri klien dan meningkatkan stabilitas atau pengetahuan keluarga serta kepercayaan diri keluarga. Selain dua tujuan utama tersebut, psikoedukasi bagi keluarga juga menekankan pada peningkatan pengetahuan mengatasi atau menangani gejala masalah psikologis yang mendera anggotanya dan mengurangi stres keluarga

 

2.4  TERAPI HUMANISTIK


1.      KONSEP TERAPI HUMANISTIK EKSISTENSIAL

Pandangan humanistik eksistensial adalah suatu pandangan yang agak baru untuk memahami tingkah laku abnormal dan dalam banyak hal dikembangkan sebagai reaksi melawan pandangan-pandangan lain. Pandangan humanistik eksistensial kadang-kadang disebut sebagai “mazhab ketiga” untuk membedakan dari segi pandangan psikodinamik dan pandangan behavioral yang dominan keika pandangan humanistik eksistensial dikembangkan. Pandangan humanistic eksistensial kadang-kadang disebut pandangan fenomenologis. Feneomenologis adalah pendekatan filosofis yang bertolak belakang dari gagasan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dan bukan melalui pikiran dan intuisi

Psikologi humanistik eksistensial didirikan oleh beberapa tokoh yang terkemuka diantaranya adalah Ludwig Binswanger, Medard Boss, Abraham Malow, Carl H. Roger, Victor Frankl, Holo May, Bagental, Irvin Yalom, Yourard dan ArbucklePandangan humanistik eksitensial sesungguhnya bukan hanya satu pendekatan sistematis untuk menjelaskan tingkah laku, melainkan suatu kumpulan ide dari sejumlah ahli teori . ciri yang sangat penting dari pandangan para humanis adalah keyakina bahwa individiu dimotivasikan oleh pertumbuhan positif kearah kaparipurnaan, kesempurnaan, keunikan pribadi, dan kepenuhan diri sendiri. Misalnya  Carl Rogers adalah seorang pendeta sebelum dia menjadi psikolog. Seperti parapsikolog humanistic lain. Dia berpendapat bahwa manusia cenderung membangun dirinya dengan kebebasan memilih dan bertindak.

Konsep dasar psikologi eksistensial humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan terapi eksistensial yakni suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang yang berlandaskan konsep-konsep dan asumsi- asumsi tentang manusia.

Konsep dasar menurut Akhmad Sudrajat adalah :

·         Manusia bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan.

·         Manusia tidak pernah statis.

·         Setiap orang memiliki potensi kreatif dan bisa menjadi orang kreatif.

Asumsi tingkah laku masalah hakekat konseling eksistensial humanistic menekankan renungan filosofi tentang apa artinya menjadi manusia. Eksistensial humanistik berdasarkan pada asumsi bahwa kita bebas dan bertanggug jawab atas pilihan yang kita ambil dan perbuat yang kita lakukan. Yang paling diutamakan dalam konseling eksistensial humanistik adalah hubungannya dengan klien.

2.      UNSUR-UNSUR TERAPI

a.      Tujuan terapi humanistik eksistensial

Menurut Akhmad Sudrajat tujuannya yaitu :

·         Mengoptimalkan kesadaran individu akan keberadaannya dan menerima keadaannya menurut apa adanya. Saya adalah saya.

·         Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta pandangan- pandangan individu, yang unik, yang tidak atau kurang sesuai dengan dirinya agar individu dapat mengembangkan diri dan meningkatkan self actualization seoptimal mungkin.

·         Menghilangkan hambatan-hambatan yang dirasakan oleh individu dalam proses aktualisasi dirinya.

·         Membantu individu dalam menemukan pilihan- pilihan bebas yang mungkin dapat dijangkau menurut kondisi dirinya.

b.      Karakteristik terapi humanistik eksistensial

Karakteristik konseling eksistensialisme berfokus pada situasi kehidupan manusia di alam semesta, yang mencakup :

·         Kemampuan kesadaran diri

·         Kebebasan untuk memilih dan menentukan nasib hidupnya sendiri

·         Tanggung jawab pribadi

·         Usaha untuk menemukan makna dari kehidupan manusia

·         Keberadaan dalam komunikasi dengan manusia lain

·         Kematian

·         Kecenderungan dasar untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin.

c.       Peran dan fungsi Konselor

·         Memahami dunia klien dan membantu klien untuk berfikir dan mengambil keputusan atas pilihannya yang sesuai dengan keadaan sekarang.

·         Mengembangkan kesadaran, keinsafan tentang keberadaannya sekarang agar klien memahami dirinya bahwa manusia memiliki keputusan diri sendiri.

·         Konselor sebagai fasilitator memberi dorongan dan motivasi agar klien mampu memahami dirinya dan bertanggung jawab menghadapi reality.

·         Membentuk kesempatan seluas – luasnya kepada klien, bahwa putusan akhir pilihannya terletak ditangan klien.

d.      Tahap-tahap konseling Humanistik Eksistensial

·         Selama tahap pendahuluan, konselor membantu klien dalam hal mengidentifikasi dan mengklarifikassi asumsi mereka terhadap dunia.

·         Pada tahap tengah dari konseling eksistensial, klien didorong semangatnya untuk lebih dalam lagi meneliti sumber dan otoritas dari sistem nilai mereka.

·         Tahap terakhir dari konseling eksistensial berfokus pada menolong klien untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka sendiri.

3.      TEKNIK-TEKNIK TERAPI HUMANISTIK EKSISTENSIAL

Pada terapi eksistentsial-humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur konseling bisa dipungut dari beberapa teori konseling lainnya. Metode-metode yang berasal dari teori gestalt dan analisis transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa diintegrasikan ke dalam teori eksistensial-humanisitk.

Menurut pendapat Akhmad Sudrajat teknik yang dianggap tepat untuk diterapkan dalam pendekatan humanistic eksistensial ini yaitu teknik client centered counseling, sebagaimana dikembangkan oleh Carl R. Rogers.

Buku The Searc for “ Authenticity (1965) dari Bugental adalah sebuah karya lengkap yang mengemukakan konsep-konsep dan prosedur-prosedur psikokenseling eksistensial yang berlandaskan model psikoanalitik. Bugental menunjukan bahwa konsep inti psikoanalisis tentang resistensi dan transferensi bisa diterapkan pada filsafat dan praktek konseling eksistensial. Ia menggunakan kerangka psikoanalitik untuk menerangkan fase kerja konseling yang berlandaskan konsep-konsep eksistensial seperti kesadaran, emansipasi dan kebebasan, kecemasan eksistensial, dan neurosis eksistensial.

a.      Kelebihan dan Keterbatasan Kelebihan Eksistensial Humanistik

Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.

·         Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri.

·         Memanusiakan manusia.

·         Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, analisis terhadap fenomena sosial.

·         Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien seperti masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa.

b.      Kelemahan Eksistensial Humanistik :

·         Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal

·         Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas

·         Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri)

·         Proses terapi memakan waktu lama

·         Memiliki keterbatasan penerapan pada kasus level keberfungsian klien yang rendah (klien yang ekstrem yang membutuhkan penangan secara langsung)

2.5  TERAPI BEHAVIORISTIK


2.5.1        Pengertian Terapi Perilaku (Behaviour)

Terapi perilaku (behaviour) adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Ia menyatakan penerapan yang sistematis prinsipprinsip belajar pada perubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif. Pendekatan ini telah memberikan sumbangan-sumbangan yang berarti baik kepada bidang-bidang klinis maupun pendidikan. Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku.Salah satu aspek yang paling penting dari Gerakan modifikasi bahwa tingkah laku adalah penekanannya pada tingkah laku yang bisa didefinisikan secara operasional, diamati dan diukur.  Adapun beberapa pengertian Terapi Perilaku menurut para ahli, di antaranya:

·        Menurut Martin dan Pear, terapi perilaku merupakan intervensi yang menerapkan prinsip dan teknik belajar secara sistematis untuk mengubah perilaku individu dalam upaya meningkatkan fungsi dalam kehidupan sehari-hari.

·        Menurut marquis, terapi perilaku adalah suatu teknik yang menerapkan informasiinformasi ilmiah guna menemukan pemecahan masalah manusia. Dalam pandangan behavioral, kepribadian manusia itu pada hakikatnya adalah tingkah laku. Perilaku dibentuk berdasarkan hasil dari segenap pengalamannya berupa interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya. Kepribadian seseorang merupakan cerminan dari pengalaman yaitu situasi atau stimulus yang diterimanya. Untuk itu memahami kepribadian individu tidak lain adalah perilakunya yang tampak. Jadi kesimpulanya, Terapi Perilaku ialah semua tingkah laku atau tindakan/kelakuan seseorang yang dilihat dari situasi atau stimulusnya untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya baik dilihat, didengar atau dirasakan oleh orang lain atau diri sendiri. Atau juga dapat disimpulkan bahwa terapi perilaku ialah penerapan prinsip belajar yang berfokus pada bagaimana orang-orang belajar mengubah perilaku dan meningkatkan fungsi untuk memecahkan masalah perilaku manusia dan kondisi-kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku mereka.

2.5.2        Sejarah Perkembangan dan Tokoh-tokoh Terapi Perilaku (Behaviour)

Terapi perilaku (Behaviour) tradisional diawali pada tahun 1950-an di Amerika Serikat, Afrika Selatan dan Inggris sebagai awal radikal menentang perspektif psikoanalisis yang dominan. Fokusnya adalah pada menunjukkan bahwa teknik penkondisian perilaku yang efektif dan merupakan alternatif untuk terapi psikoanalitik. Tokoh-tokoh terapi behaviour yaitu BF Skinner dan Albert Bandura. BF Skinner merupakan seorang juru bicara terkemuka untuk behaviorisme dan dapat dianggap sebagai bapak dari pendekatan behaviour. Skinner tidak mempercayai manusia memiliki pilihan bebas. Menurutnya tindakan tidak dapat dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan. Ia menekankan pandangannya pada sebab akibat antara tujuan, kondisi lingkungan dan perilaku yang dapat diamati. Skinner tertarik pada konep penguatan dan menerapkannya dalam dirinya sendiri. Sedangkan Albert Bandura dan rekan-rekannya yang merintis dalam bidang social medelling dan memperkenalkannya sebagai suatu proses yang menjelaskan beragam bentuk pembelajaran.

Menurut Geral Corey, setiap manuia dipandang memiliki kecenderungan-kecenduran positif dan negatif yang sama. Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Pendekatan behavioral didasarkan pada pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia yang menekankan pada pentingnya pendekatan sistematik dan terstruktur pada konseling. Proses belajar tingkah laku adalah melalui kematangan dan belajar. Selanjutnya tingkah laku lama dapat diganti dengan tingkah laku baru. Manusia dipandang memiliki potensi untuk berperilaku tepat atau salah. Manusia melakukan refleksi atau tingkah laku baru atau dapat mempengaruhi perilaku orang lain.

 Dari dasar pendekatan tersebut, dapat dikemukakan beberapa konsep kunci tentang hakikat manusia sebagai berikut:

·        Tingkah laku manusia diperoleh dari belajar dan proses terbentuknya kepribadian dengan melalui proses kematangan dan belajar. Terbentuknya tingkah laku, baik positif maupun negatif diperoleh dari belajar.

·        Kepribadian manusia berkembang bersama-sama dengan interaksinya dan lingkungannya. Interaksi yang dapat diamati antara individu dengan lingkungan, interaksi ini ditentukan bentuknya oleh tujuan, baik yang berasal dari diri pribadi maupun yang dipaksakan oleh lingkungan.

·        Setiap orang lahir dengan membawa kebutuhan bawaan, tetapi sebagian besar kebutuhan dipelajari dari interaksi dengan lingkungan. Mula-mula invidu banyak bergantung pada sumber kepuasan eksternal, namun semakin matang penguat internal semakin penting.

·        Manusia tidak lahir baik atau jahat tetapi netral, bagaimana kepribadian seseorang dikembangkan tergantung pada interaksinya dengan lingkungan. Dengan kata lain, dapat saja manusia menjadi baik atau sebaliknya tergantung bagaimana ia belajar dalam interaksi dan lingkungannya.

 Jadi dapat disimpulkan bahwa manusia mempunyai tugas untuk berkembang dan semua tugas berkembang harus diselesaikan dengan belajar karena hidup adalah serangkaian tugas yang harus dipelajari dan dipahami. Keberhasilan belajar akan menimbulkan suatu kepuasan sedangkan kegagalan berakibat ketidakpuasan dan penolakan sosial.

 Manusia memiliki satu atau lebih dimensi perilaku yang dapat diukur . Dimensidimensi tersebut meliputi:

·        Frekuensi, yang merujuk pada seberapa sering suatu perilaku muncul.

·        Durasi, yang merujuk pada seberapa lama suatu perilaku berlangsung.

·        Intensi, yang merujuk pada seberapa kuat suatu perilaku muncul.

·        Latensi, yang merujuk pada seberapa lama rentang waktu antara terjadinya stimulus dan respon perilaku yang muncul.

Olehnya itu ada beberapa asusmsi dasar dalam pendekatan terapi perilaku yaitu:

·        Memiliki konsentrasi pada proses perilaku.

·        Menekankan dimensi waktu here and now.

·        Manusia berada dalam perilaku maladaptive

·        Proses belajar merupakan cara efektif untuk mengubah perilaku maladaptif.

·        Melakukan penetapan tujuan pengubahan perilaku.

·        Menekankan nilai secara empiris dan didukung dengan berbagai teknik dan metode.

Selanjutnya ada beberapa ciri dan tujuan Terapi Perilaku (Behaviour), sebagai berikut:

1.      Ciri-ciri Terapi Perilaku, yaitu:

·        Pemusatan perhatian pada tingkah laku yang tampak dan spesifik.

·        Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment.

·        Perumusan prosedur treatment yang spesifik dan sesuai dengan masalah, dan telah ditentukan sebelumnya.

·        Penaksiran objektif atau hasil-hasil terapi, maksudnya keefektifan terapi dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku khusus yang nyata sebagai bentuk hasil terapi

Terapi perilaku berbeda dengan sebagian besar pendekatan terapi lainnya, yang ditandai oleh:

·        Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik.

·        Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment.

·         Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah dan

·        Penafsiran objektif atas hasil-hasil terapi. Terapi tingkah laku tidak berlandaskan sekumpulan konsep yang sistematik, juga tidak berakar pada suatu teori yang dikembangkan dengan baik. Sekalipun memiliki banyak teknik, terapi tingkah laku hanya memiliki sedikit konsep. Ia adalah suatu pendekatan induktif yang berlandaskan eksperimen-eksperimen dan menerapkan metode eksperimental pada proses terapeutik.

2.      Tujuan Terapi Perilaku

Pada dasarnya, Terapi Behavioral diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru. Penghapusan tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan. Tujuan konseling behaviour adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang atau mengalami konflik dengan kehidupan sosial.18 Tujuan konseling behaviour adalah untuk membantu klien membuang respon-respon yang lama yang merusak diri dan mempelajarirespon-respon baru yang lebih sehat. Jadi tujuan konseling behaviour adalah untuk memperoleh tingkah laku baru, mengeliminasi perilaku yang maladaptif dan memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan dalam jangka waktu yang lama. Adapun tujuan umumnya yaitu menciptakan kondisi baru untuk belajar. Dengan asumi bahwa pembelajaran dapat memperbaiki masalah perilaku.

3.      Karakteristik Konseling Behavioral Karakteristik kopnseling behavioral adalah:

a.       Berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik.

Pendekatan ini tidak didasari oleh teori tertentu yang khusus, hal utama yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam konseling ini adalah menyaring dan memisahkan tingkah laku yang bermasalah itu dan membatasi secara khusus perubahan apa yang dikehendaki.

b.      Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling.

Dalam hal ini, tugas konselor adalah membantu merinci dan memilih tujuan umum menjadi tujuan khusus, konkrit, dan dapat diukur.

c.       Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien.

Teknik-teknik tingkah laku berorientasi pada tindakan, oleh karena itu klien diharapkan melakukan sesuatu bukan hanya memperhatikan secara pasif dan terlena dalam instropeksi saja. Klien harus diajar untuk melakukan tindakan khusus apabila perubahan tingkah laku klien diharapkan.

d.      Penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.

Sasaran tingkah laku yang akan diubah sudah diidentifikasi secara jelas, tujuan perlakuan telah dirumuskan secara khusus, dan prosedur terapeutikpun telah dirinci secara sistematik. Keputusan untuk menggunakan suatu teknik didasarkan atas keberhasilan teknik itu dalam mendatangkan hasil, yaitu tercapainya tujuan yang telah dirumuskan.

4.      Jenis-jenis Terapi Perilaku Adapun jenis-jenis terapi perilaku, diantaranya yaitu:

a. Terapi perilaku kogniif, yaitu metode pengobatan yang disasarkan pada pikiran dan perasaan yang menyebabkan perilaku tertentu dan gangguan jiwa.

b. Analisis perilaku terapan, yaitu metode pengkondisian yang menggunakan cara positif untuk mengubah perilaku klien.

c.  Teori pembelajaran sosial.

Kelebihan dan Kelemahan Terapi Perilaku (Behaviour) Ada beberapa kelebihan dan kelemahan yang terdapat pada terapi perilaku. Kelebihan terapi perilaku, yaitu:

· Pembuatan tujuan terapi antara konselor dan konseling diawal dijadikan acuan keberhasilan proses terapi.

·  Memiliki berbagai macam teknik konseling yang teruji dan selalu diperbaharui.

· Waktu konseling relatif singkat.

· Kolaborasi yang baik antara konselor dan konseling dalam penetapan tujuan dan pemilihan teknik.

Adapun kelemahan trapi perilaku, yaitu:

·         Dapat mengubah perilaku tapi tidak dapat mengubah perasaan.

·         Mengabaikan faktor relaional penting dalam terapi.

·         Tidak memberikan wawasan.

·         Mengobati gejala dan bukan penyebab.

·         Melibatkan kontrol dan manipulasi oleh konselor.

2.5.3        Teknik Terapi Perilaku (Behaviour)

Terapi-terapi perilaku menggunakan prinsip-prinsip belajar untuk mengurangi atau mengeliminasi perilaku-perilaku maladaptif. Mereka didasarkan teori-teori perilaku dan teori kognitif dalam menjelaskan kepribadian. Terapi-terapi perilaku berusaha menyingkirkan gejala-gejala perilaku dan bukan membantu individu untuk memperoleh pemahaman tentang masalah mereka. Terapis-terapis perilaku semakin banyak menggunakan pembelajaran berdasar observasi, faktor-faktor kofnitif dan instruksi oleh diri dalam usaha untuk membantu orang dengan permasalahannya. Teknik-teknik pengondisian klasik dan pengondisian operan digunakan dalam terapiterapi ini. Dua teknik utama dalam terapi yang didasarkan dalam pengondisian klasik adalah desensititasi sistematik dan pengondisian aversif. Dalam desensititasi sitematik, kecemasan diatasi dengan membuat individu mengasosiasikan relaksasi mendalam dengan situasisituasi yang menimbulkan kecemasan yang semakin meningkat. Sebuah bentuk dari desentitasi adalah flooding. Dalam pengondisian aversif, pemasangan antara perilaku yang tidak diharapkan dengan stimulus aversif diulangi sedemikian rupa untuk mengurangi penguat perilaku yang tidak diharapkan. Dalam pendekatan pengondisian operan, analisis mendalam terhadap lingkungan individu dilakukan untuk menentukan faktor-faktor mana yang perlu diubah. Modifikasi perilaku adalah penerapan pengondisian operan untuk mengubah perilaku. Tujuan umumnya adalah untuk menggantikan perilaku maladaptif yang tidak dapat diterima dengan perilaku yang adaptif dan dapat diterima. Contoh, sebuh token ekonomi adalah sistem modifikasi perilaku dimana perilaku diperkuat dengan token yang kemudian dapat ditukarkan dengan hadiah yang diharapkan.

1.      Macam-macam Teknik Terapi Perilaku (Behaviour)

Gerald Corey menuturkan macam-macam teknik terapi behavioral, antara lain:

a.    Penguatan positif : Yaitu memberikan penguatan yang menyenangkan setelah tingkah laku yang diinginakan ditampilkan yang bertujuan agar tingkah laku yang diinginkan cenderung akan diulang, meningkat dan menetap dimasa yang akan datang.

b.   Kartu berharga (Token Economy): Yaitu bertujuan untuk mengembangkan perilaku adaptif melalui pemberian reinforcement melalui dengan token. Ketika tingkah laku yang diinginkan telah cenderung menetap, pemberian token dikurangi secara bertahap.

c.     Desensititasi Sistematis; digunakan untuk menghapus rasa cemas dan tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dengan disertakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapus. Hal ini klien diarahkan untuk menampilkan suatu respon yang tidak konsisten dengan kecemasan.

d.    Asertif; Teknik ini klien dapat belajar untuk membedakan tingkah laku agresif, pasif dan asertif. Tujuannya agar klien belajar bertingkah laku asertif.

e.    Aversi; Teknik ini untuk meredakan gangguan perilaku yang spesifik. Agar tingkah laku sesuai yang dengan diinginkan, maka stimulanya adalah berupa hukuman-hukuman.

f.  Shapping; Tujuannya yaitu untuk membentuk tingkah laku yang sebelumnya belum ditampilkan dengan memberikan reinforcement secara sistematik dan setiap kali tingkah laku ditampilkan.

g.     Teknik relaksasi; Tujuannya yaitu untuk membatu konseling mengurangi ketegangan fisik dan mental dengan dengan latihan pelemasan otot-otot dan pembayangan situasi yang menyenangkan saat pelemasan otot-otot sehingga tercapai kondisi yang baik.

h. Teknik flooding; Tujuannya yaitu untuk membantu klien mengatasi kecemasan dan ketakutan terhadap sesuatu hal dengan cara menghadapkan klien tersebut dengan situasi yang menimbulkan kecemasan tersebut secara berulang-ulang.

i.        Reinforcement technique; Tujuannya yaitu untuk membantu klien meningkatkan perilaku yang dikehendaki dengan cara memberikan penguatan terhadap perilaku tersebut.

j.   Modelling; Tujuannya yaitu untuk mengubah tingkah laku yang lama dengan meniru tingkah laku klien menggunakan model.

k.   Cognitive restructuring; Tujuannya yaitu untuk menekankan pengubahan pola pikiran, penalaran, dan sikap klien yang tidak rasional menjadi rasional dan logis.

l.     Self management; Tujuannya yaitu untuk prosedur dimana individu mengatur perilakunya sendiri melalui pantauan diri, kendali diri dan ganjar diri.

m.   Behavioral rehearsal; Tujuannya yaitu agar klien belajar keterampilan antarpribadi yang efektif atau perilaku yang layak.

n.   Kontrak; Tujuannya yaitu untuk mengatur kondisi sehingga klien menampilkan tingkah laku yang diinginkan berdasarkan kontrak antara konseling dan konselor.

o.      Pekerjaan rumah; Tujuannya yaitu untuk memberikan tugas atau aktivitas yang dirancang agar dilakukan konseling seperti mencoba perilaku baru, meniru perilaku tertentu atau membaca bahan bacaan yang relevan dengan masalah yang dihadapinya.

p. Extinction (penghapusan); Tujuannya yaitu untuk menghentikan reinforcement pada tingkah laku yang sebelumnya diberi reinforcement.

q. Punishment (hukuman); Merupakan intervensi operant-conditioning yang digunakan konselor untuk mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan.

r.     Satitation (penjenuhan); Yaitu membuat diri jenuh terhadap suatu tingkah laku, sehingga tidak lagi bersedia melakukannya.

s.  Time-out. Tujuannya yaitu untuk menyisihkan peluang individu untuk mendapatkan penguatan positif.

Jadi, ada beberapa teknik dalam pelaksanaan terapi perilaku di antaranya ; Penguatan positif, kartu berharga (Token Economy), Desensititasi Sistematis, . Asertif. Aversi, Shapping, teknik relaksasi, Teknik flooding; Reinforcement technique, Modelling, Cognitive restructuring, Self management, Behavioral rehearsal, kontrak, pekerjaan rumah, Extinction (penghapusan), Punishment (hukuman), Satitation (penjenuhan), dan Time-out.

Seseorang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri (adjustment), hal itu disebabkan karena orang itu telah belajar bertingkah laku yang salah. Di masa yang lampau orang belajar dalam interaksi dengan lingkungannya, lebih¬lebih orang lain (Lingkungan sosial). Dia telah berhadapan dengan sejumlah rangsangan (Stimulus, disingkat S) dan telah bereaksi pula dengan cara tertentu (Response, disingkat R). Cara bereaksi itu lama-kelamaan akan dapat membentuk suatu pola bertingkah laku. yang sesuai dengan situasi kehidupannya pada saat tertentu. Suatu pola bertingkah laku yang dahulu mungkin sesuai, di waktu kemudian dapat tidak sesuai lagi karena situasi kehidupannya telah berubah. Kalau pola berperilaku yang dipelajari dahulu tetap dipertahankan, meskipun situasi kehidupan telah berubah, akan ada kesulitan, alias orang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri.

2.      Tahap-hahap Pelaksanaan Terapi Perilaku

a.  Melakukan Asesmen Tahap ini bertujuan untuk menentukan apa yang dilakukan konseling padasatini. Asesmen dilakukan adalah aktivitas nayat, perasaan dan pikiran konseling.

b.  Menetapkan Tujuan (Goal Setting) Konselor dan konseling menentukan tujuan konseling seuai dengan kesepakatan bersama berdasarkan informasi yang telah disusun dan dianalisis.

c. Implementasi Teknik Setelah tujuan konseling dirumuskan, konselor dan konseling menentukan strategibelajar yangterbaik untuk mmbantu konseling mencapai perubahan ingkah laku yang diinginkan.

d.  Evaluasi dan Pengakhiran Evaluasi behavioral merupakan proses yang berkesinambungan. Evaluasi dibuat atas dasar apa yang konseling perbuat. Tingkah laku konseling digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas konselor dan efektivitas tertentu dari teknik yang digunakan.

e. Feedback Yaitu memberikan dan menganalisis umpan balikuntuk memperbaiki dan meningkatkan proses konseling.

Jadi tahap-tahap pelaksanaan terapi perilaku, dimulai dengan melakukan melakukan asesmen, kemudian dilanjutkan dengan menetapkan tujuan (Goal Setting), implementasi teknik, evaluasi dan pengakhiran dan terakhir adalah Feedback.

1.5.4       2.5.3 TERAPI PSIKOANALISIS

 

A.    Psikoanalisis adalah sebuah model perkembangan kepribadian, filsafat tentang sifat manusia dan metode psikoterapi

B.     Secara historis → aliran pertama dari 3 aliran utama psikologi

C.     Sumbangan utama psikoanalisis :

1.      kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, dan pemahaman terhadap sifat manusia bias diterapkan pada perbedaan penderitaan manusia

2.      tingkah laku diketahui sering ditentukan oleh factor tak sadar

3.      perkembangan pada masa dini kanak-kanak memiliki pengaruh yg kuat thd kepribadian dimasa dewasa

4.      teori psikpanalisis menyediakan kerangka kerja yg berharga untuk memahami cara-cara yg di use oleh individu dalam mengatasi kecemasan

5.      terapi psikoanalisis telah memberikan cara2 mencari keterangan dari ketidaksadaran melalui analisis atas mimpi2

D.    Konsep2 utama terapi psikoanalisis

a.       struktur kepribadian

·   id

·   ego

·   super ego

b.      pandangan ttg sifat manusia

·         pandangan freud ttg sifat manusia pd dasarnya pesimistik, deterministic, mekanistik dan reduksionistik

c.       kesadaran & ketidaksadaran

·         konsep ketaksadaran

a.       mimpi2 → merupakan representative simbolik dari kebutuhan2, hasrat2  konflik

b.      salah ucap / lupa → thd nama yg dikenal

c.       sugesti pascahipnotik

d.      bahan2 yg berasal dari teknik2 asosiasi bebas

e.       bahan2 yg berasal dari teknik proyektif

d.      Kecemasan

1.      Adalah suatu keadaan yg memotifasi kita untuk berbuat sesuatu

Fungsi → memperingatkan adanya ancaman bahaya

2.      3 macam kecemasan

a.       Kecemasan realistis

b.      Kecemasan neurotic

c.       Kecemasan moral

E.     Tujuan terapi Psikoanalisis

·         Membentuk kembali struktur karakter individu dg jalan membuat kesadaran yg tak disadari didalam diri klien

·         Focus pd uapaya mengalami kembali pengalaman masa anak2

F.      Fungsi & peran Terapis

·         Terapis / analis membiarkan dirinya anonym serta hny berbagi sedikit perasaan & pengalaman shg klien memproyeksikan dirinya kepada teapis / analis

G.    Peran terapis

a.       Membantu klien dalam mencapai kesadaran diri, kejujuran, keefektifan dalam melakukan hub personal dlm menangani kecemasan secara realistis

b.      Membangun hub kerja dg klien, dg byk mendengar & menafsirkan

c.       Terapis memberikan perhatian khusus pada penolakan2 klien

d.      Mendengarkan kesenjangan2 & pertentangan2 pd cerita klien

 

H.    Pengalaman klien dlm terapi

1.      Bersedia melibatkan diri kedalam proses terapi yg intensif & berjangka panjang

2.      Mengembangkan hub dg analis / terapis

3.      Mengalami krisis treatment

4.      Memperoleh pemahamn atas masa lampau klien yg tak disadari

5.      Mengembangkan resistensi2 untuk belajar lbh byk ttg diri sendiri

6.      Mengembangkan suatu hub transferensi yg tersingkap

7.      Memperdalam terapi

8.      Menangani resistensi2 & masalah yg terungkap

9.      Mengakhiri terapi

I.       Hub terapis & klien

1.      Hub dikonseptualkan dalam proses tranferensi yg menjadi inti Terapi Psikoanalisis

2.      Transferensi mendorong klien untuk mengalamatkan pd terapis “ urusan yg belum selesai” yg terdapat dalam hub klien dimasa lalu dg org yg berpengaruh

3.      Sejumlah perasaan klien timbul dari konflik2 seperti percaya lawan tak percaya, cinta lawan benci

4.      Transferensi terjadi pada saat klien membangkitkan kembali konflik masa dininya yg menyangkut cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan & dendamnya

5.      Jika analis mengembangkan pandangan yg tidak selaras yg berasal dari konflik2 sendiri, mk akan terjadi kontra transferensi

a.       Bentuk kontratransferensi

→ perasaan tdk suka / keterikatan & keterlibatan yg berlebihan

b.      Kontratransferensi dapat mengganngu kemajuan terapi

J.       Teknik dasar Terapi Psikoanalisis

a.       Asosiasi bebas

→ adalah suatu metode pemanggilan kembali pengalaman2 masa lalu & pelepasan emosi2 yg berkaitan dg situasi2 traumatik di masa lalu

b.      Penafsiran

→ Adalah suatu prosedur dalam menganalisa asosiasi2 bebas, mimpi2, resistensi2 dan transferensi

* bentuk nya = tindakan analis yg menyatakan, menerangkan, bahkan mengajari klien makna2 t.l

c.       Analisis Mimpi

→ Suatu prosedur yg penting untuk menyingkap bahan2 yg tidak disadari dan memberikan kpd klien atas beberapa area masalah yg tak terselesaikan

d.      Analisis dan Penafsiran Resistensi

→ Ditujukan untuk membantu klien agar menyadari alasan2 yg ada dibalik resistensi shg dia bias menanganinya

e.       Analisis & Penafsiran Transferensi

      →Adalah teknik utama dalam Psikoanalisis krn mendorong klien untuk menghidupkan   

      kembali masa lalu nya dalam terapi


DAFTAR PUSTAKA

 

Prayitno. 2004. Layanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Ghalia Indonesia.

D.K.Sukardi. 2002. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka

Cipta.

Romlah. Tatik. 2001. Teori dan Praktik Bimbingan Kelompok. Malang: Universitas Negeri

Malang

W. S. Winkel dan M.M. Sri Hastuti. 2004. Bimbingan Dan Konseling Di Institusi Pendidikan.

Yogyakarta: Media Abadi.

M.E.Wibowo. 2005.  Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: Unnes Press.

Priyono,H. 2013. Pengaruh Kognitif Behavioral Therapy Terhadap Penurunan Skor Depresi

Pasien Kanker Payudara Yang Menjalani Kemoterapi di Ruang Bugenvil Rsud Prof Dr Margono Soekarjo .Purwokerto:Unmuh.

Wilkinson, Ian. 1998. Child and Family Assessment: Clinical Guidelines for Practitioners.

London: Routledge.

Phares, E.J. 1992. Clinical Psychology. Concepts, Methods, and Profession. California: Brooks/Cole Publishing Company.

Holdert, Frans & Ploegmakers-Burg, Marian. 2013. Introduction to Family Therapy. Makalah

International Workshop Theory and Practice of Family Therapy, Malang, 26 -28 April

Andayani, Budi. 2000. Profil Keluarga Anak-anak Bermasalah. Jurnal Psikologi, 27 (1): 10-22.

Anderson, C.M., Reiss, D.J., & Hogarty, G.E. 1986. Schizophrenia and the Family. New York:

Guilford.

Azipatul Azipah., Irfany Sugiarto., Yuli Listiowati

(http://www.slideshare.net/irfanyipang/eksistensial-humanistik-irfany)

Rawlins, T.R.P., Williams, S.R., Beck, C.M. (1993). Mental Health Psychiatric Nursing a

Holistic Life Cycle Approach. St. Louis : Mosby Year Book.

Alang, Asrul Haq. 2020. Tekhni Pelaksanaan Terapi Perilaku (Behavior). UIN Alauddin

Makassar. Al-Irsyad Al-Nafs, Jurnal Bimbingan Penyuluhan Islam Volume 7, Nomor 1 Mei 2020 : 32-41

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TOPIK 5. MIKROSKILLS TAHAPAN KONSELING DAN PSIKOTERAPI

TOPIK 1. DASAR-DASAR KONSELING DAN PSIKOTERAPI